MUDZAKARAH ULAMA

ومن الناس والدّواب والانعم مختلفٌ الونه كذلك انما يخشى الله من عباده العلماء انّ الله عزيزٌ غفورٌ ـ

Kamis, 17 Juli 2008

KEDUDUKAN AL 'ULAMA

Muqoddimah

Melihat berbagai persoalan yang dihadapi oleh ummat manusia, mengingatkan kita untuk kembali mentelaah semuanya dengan kacamata al Qur-an dan atau al Hadits Shohih, “apa yang seharusnya dilakukan?” Dimana Allah pasti tidak akan lagi menurunkan RasulNya seperti dalam al Qur-an Surah Al- Ahzab Ayat 40 yang menyatakan bahwa Nabi Muhammad sebagai Rasul terakhir dan penutup para Nabi. Selanjutnya ketika melihat al Qur-an Surah At-Taubah Ayat 33 dan al Hadits Shohih riwayat Muslim dari jalan Syadad bin Aus dan Tsauban yang pada intinya Allah menggambarkan bahwa pada akhir zaman pasti Dia tegakkan al Qur-an dan al Hadits Shohih sebagai Norma Hukum bagi seluruh ummat manusia dan semesta alam yang akhirnya manusia hanya terbagi menjadi dua golongan yaitu pertama mukmin yang dimuliakan Allah dan kafir yang dihinakan Allah. Maka yang menjadi pokok pertanyaan kita adalah, “siapa dan bagaimana menyongsong janji tersebut?”

Allah SWT memberikan isyarat petunjuk dalam al Qur-an Surah Ash-Shof Ayat 14 dimana pada Ayat tersebut ada beberapa pokok penjelasan yaitu, pertama Nabi Isa Ibnu Maryam berkata “Siapakah penolong-penolongku kepada Allah” kalimat ini memberikan pengertian bahwa setelah para Rasul dan Nabi tidak diutus lagi dan hanya al Qur-an dan al Hadits Shohih sebagai bekalan, maka yang wajib bergerak untuk menjemput janjiNya adalah Al'Ulama dan Anshorullah.Dalam hal ini dijelaskan dalam al Qur-an Surah Fathir Ayat 28 dan al Qur-an Surah Asy-Syuro Ayat 13 Al ulama bekerja memandu dan menyeru ummat. Yang kedua ummat Islam secara umum bergerak menyambut seruan tersebut sebagai anshorullah. Sebagaimana sambutan hawariy kepada rasulullah Isa ,”Kami penolong diinullah”. Inilah yang disebut Muttabi atau pengikut setia Rasulullah yang siap menjadi Anshorullah, yang mereka ini harus mampu memenuhi apa yang disyaratkan Allah dalam Surah Al-Kahfi Ayat 28 dan 29 dimana disebutkan harus memiliki sikap teguh pendirian atau istiqomah dalam pola berjamaah dan pada al Qur-an Surah Al-Anfal Ayat 20 yaitu melakukan tansiq untuk menyatukan hati orang-orang yang beriman dalam suatu tandhim yang tertata dengan rapi.

Kedua golongan inilah yaitu Al'Ulama dan Hawariy yang siap menjemput janji Allah akan keberlakuan HukumNya di muka bumi yang dilakui siang dan malam sampai akhir zaman.

Pokok Kajian

Sesungguhnya Allah telah memberikan petunjuk berupa gambaran dari satu sikap hamba Allah yang tidak terlena oleh berbagai permasalahan yang berkaitan dengan gejolak kehidupan duniawiyah, sebagaimana digambarkan dalam Surah An-Nur Ayat 37, yaitu :

“Para lelaki yang tidak dapat terlalaikan mereka itu oleh perniagaan dan jual beli terhadap mengingati Allah, dan mendirikan sholat dan membayarkan zakat (lantaran) mereka takut akan suatu hari (dimana) terjadi goncang pada waktu itu, hati dan pandangan"

Ayat tersebut bila dihubungkan dengan ayat sebelum dan sesudahnya, sangat jelas menggambarkan tentang sikap "Al'Ulama" yang senantiasa berupaya menepati tugas dan tanggung jawabnya dalam menjunjung tinggi Kalimatullah. Oleh karena itu, maka Rasulullah menjelaskan dalam haditsnya mengenai dua macam kedudukan Al 'Ulama. Pertama, 'Ulama itu adalah pemegang amanah Allah atas makhluqNya yang menjelaskan al Qur-an Surah Fathir Ayat 28. Kedua, Al 'Ulama sebagai pemegang amanah para Rasul dengan dalil Surah Asy-Syuro Ayat 13. Sehingga dengan kedudukan ini Al 'Ulama akan senantiasa berupaya untuk mematuhi dan menepati batasan-batasan yang telah ditetapkan oleh Rasulullah.

Pembahasan

Bahwa sebenarnya "Al'Ulama" adalah hamba Allah yang faqir, artinya senantiasa berharap keridhoan Allah dalam segala kiprah hidupnya untuk menepati pengabdiannya. Berarti kepribadiannya sudah harus terukur, sebagaimana dijelaskan dalam Surah At-Taubah Ayat 24, bahwa mereka itu “cinta kepada Allah, RasulNya dan Jihad di jalanNya diatas segalanya”. Inilah tatanan kepribadian utama yang membuat Al'Ulama disebut Al'Arif dan Al'Khowasy. Kemudian hal ini memunculkan sikap ketulusan hati dalam ketha'atan, sehingga berupaya sekuat mungkin menepati perintah Allah dengan tidak akan pernah mencampur-adukkan antara yang haq dengan yang bathil. Sikap inilah yang dicantumkan Allah di dalam Surah Al-Baqoroh Ayat 42.

“Dan janganlah mencampur-adukkan al haq dengan yang bathil, dan kamu

menyembunyikan al haq sedangkan kamu mengetahui”

Muatan makna dari ayat ini antara lain:

A. Al'Ulama dituntut kemampuannya dalam memahami beberapa batasan dari Allah, antara lain adalah ketetapan Allah untuk memiliki "hija-ban mastu-ro" (dinding pembatas atau pembeda) yang dinyatakanNya dalam Surah Al-Isro Ayat 45. Maka dengan itu akan berkemampuan menjelaskan berbagai perbedaan sifat (antagonistic) antara dinul Islam- dari dan milik Allah, dengan system hidup buatan manusia. Diantaranya perbedaan antara Asy-Syiyasah dengan Politik yang merupakan produk fikiran manusia.

B. Berdasarkan Surah Al-Anfal Ayat 24 bahwa dituntut kemampuannya dalam mewaspadai diri, terhadap keberadaan potensi nafsu dan al`aqlu, yang antara keduanya ada pembatas. Nafsu adalah tempat atau intuisi yang sangat potensial bagi bisikan syaithon. Sedangkan al`aqlu adalah intuisi bagi suara wahyu. Artinya dalam menerima perintah dari al Qur-an harus menempatkannya dalam al`aqlu bukan dilandasi nafsu. Dengan adanya kontrol diri ini maka al 'Ulama akan dapat melakukan pengkondisian terhadap ummat Islam ke arah yang benar, agar mereka tidak terpengaruh oleh bisikan nafsu angkara murka yang dijelaskan Surah Yusuf Ayat 53. Maka dengan ini akan tampaklah bahwa sesungguhnya Islam itu mengutamakan cinta kasih terhadap ummat manusia, karena masalah manusia adalah topik utama dalam al Qur-an sebagaimana panduan dalil Surah Al-Maidah Ayat 32.

Manakala hal tersebut telah difahami, maka dengan berpedoman pada Kaidah Menejemen al Qur-an yang dijelaskan Surah Al-Furqon Ayat 52 serta wujud dari menejemen al Qur-an yang dijelaskan juga pada Surah Al-An'am Ayat 153, secara jelas al 'Ulama akan mampu memberikan jalan keluar kepada Ummat Islam ketika mereka dihadapkan dengan beberapa kenyataan, antara lain :

1. Dalam kehidupan global (ma-adina), dipastikan setiap Negara di dunia telah mengalami proses “integrasi” atau penyatuan dalam berbagai kebijakan yang menyangkut hajat hidup orang banyak.

2. Dalam hubungan antar bangsa secara pasti terjadi proses “interdependency”, yaitu terjadi saling ketergantungan dalam hal saling memberi dan menerima, antara lain dalam hal warna peradaban.

Mengatasi hal tersebut, jelas tidak mungkin bisa menemukan antisipasinya, selama para 'Ulama hanya berfikir sebatas “rumah tangganya”, - maksudnya sebatas negerinya masing-masing -red. Karena yang dihadapi Ummat Islam adalah sembilan aktor intellectual yang dimotori oleh "system Mafia" yang dijelaskan oleh Allah pada Surah An-Namj Ayat 48 dan 49; Padahal kesemuanya permasalahan itu tanggung jawabnya telah Allah dan RasulNya tetapkan kepada "Al'Ulama". Disatu sisi Allah telah berjanji akan kemenangan Islam di Akhir zaman yang mesti disongsong sebagaimana ditetapkanNya dalam al Qur-an Surah At-Taubah Ayat 33.-

Oleh karena itu dengan adanya perintah Allah yang ditujukan kepada para 'Ulama dimana mereka dituntut kesiapannya untuk melakukan "Ittifa-qul 'Ulama” sebagaimana tersebut dalam al Qur-an Surah Al-Baqoroh Ayat 208 dengan istilah lain “kesepakatan 'Ulama”, yang diprakarsai Dewan Perancang dan Panitia Pelaksana atau anshorullah menurut al Qur-an Surah Ash-Shof Ayat 14 dengan melalui proses "Mudzakarah 'Ulama".- InsyaAllah.

Selasa, 01 Juli 2008

BUKTI TERBARU SEJARAH ISLAM DI RUMPUN MELAYU

“Sungguh telah berlalu sunah/ketetapan Allah, maka berjalanlah di muka bumi, perhatikan bagaimana akibat bagi orang-orang yang mendustakan”

(Qs. Ali Imran : 137)

Ayat di atas bila di kaji adalah termasuk golongan ayat tarikhiyah-berkaitan sejarah. Didalamnya ada perintah dari al Kholiq kepada makhluknya-manusia untuk mengambil ittibar atau pengajaran dari ummat terdahulu dengan mencontoh teladan kebajikan mereka serta menjauhi sikap pengingkaran. Secara mafhum mukholafah mengandung peringatan agar manusia menjauhi sikap kedurhakaan kepada Allah Robbul 'Alamin yang akan berakibat merugikan diri mereka sendiri.

Diawali dengan lafadz “qod” yang bermakna penekanan untuk meyakinkan pendengarnya selayaknya lafadz qosham (sumpah). Kemudian ayat ini dilanjutkan dengan dua macam perintah, yaitu “berjalanlah” (meneliti bukti sejarah) dan “perhatikan” (mengambil pelajaran). Artinya, sunatullah tersebut adalah suatu ketetapanNya di alam semesta yang tidak akan berubah bahkan dapat terjadi pengulangan kisah yang serupa dan setiap makhluq tidak akan mampu melepaskan diri dari hal tersebut. Maka hendaknya tiap manusia menyadari bahwa tujuan Allah menciptakan mereka adalah untuk tugas pengabdian dengan menghambakan diri dalam mengelola bumi dan segala isinya. Bukankah Dia telah mengingatkan akan hal ini :

"Tiadalah Aku ciptakan Jin dan Manusia kecuali untuk mengabdi kepadaKu" (Qs. Adzariyat : 56)

Maka poin penting yang patut kita ambil adalah adanya perintah Allah bagi hambaNya agar menyadari dirinya masing-masing bahwa selama proses pengabdian di dunia ini adalah dengan memperhatikan pada sejarah ummat terdahulu. Baik sejarah yang berakhir dengan kebinasaan ataupun sebaliknya berupa kemuliaan. Pertanyaannya adalah bagaimana mendapatkan catatan sejarah yang paling otentik (asli) di tengah banjirnya informasi, baik dalam media cetak ataupun elektronik yang belum teruji kebenarannya.

Tentunya cara yang paling aman adalah dengan menetapkan referensi pokok yang dijadikan acuan atau filter terhadap segala data dan informasi sejarah yang masuk. Acuan pokok itu tak lain adalah Kitab yang berasal dari Dzat Yang Maha Menyaksikan dan Maha Menjaga yaitu Kitabullah al Qur-an. Ia dapat dijadikan pembanding bagi informasi yang memiliki kemiripan, pemutus bagi yang bertentangan dengan aqal sehat, serta menjadi sumber keterangan awal (bayan) disaat tidak ditemukan catatan informasi dari manusia tentang berbagai kejadian.

Sejarah Para Rosul dan Sahabatnya Adalah Cermin Pokok

Sejarah para rosul- terutama ‘Ulil Azmi- serta sahabatnya yang tergambar dalam Kitabullah dan Hadits RosulNya tidak lain adalah bentuk pengajaran dari Allah kepada setiap hambaNya. Patutkah hamba yang beriman mengambil contoh teladan lain selain dari Rosulullah dan muttabi’innya? Tentu kita mengerti mesti menjawab apa. Setelah Allah menetapkan tiada akan mengutus kembali RosulNya dan menurunkan KitabNya, berarti al Qur-an adalah sumber yang final dan bersifat universal di setiap zaman.

Disinilah letak pentingnya aktivitas taddabur al Qur-an secara kontinyu selama manusia masih diberi kehidupan agar hamba yang beriman memperolah kefahaman yang utuh dan paripurna sebagaimana diperintahkan Allah :

“Apa sebab (kamu) enggan mentadaburi al Qur-an, jikalau sekiranya al Qur-an ini bukan berasal dari Allah pastilah kamu temui pertentangan yang banyak didalamnya”
(Qs. An Nisa’ : 82)

Perlu diingat kembali bahwa perintah taddabur (memperhatikan ; mengkaji) adalah bentuk lafadz fiil mudhari’ ma’lum yang bermakna terus-menerus atau kontinyu bukan menjadi sambilan di sela-sela waktu luang. Artinya dituntut mendirikan majelis ilmu yang didalamnya terdapat pengajaran al Qur-an dengan pemahaman yang benar menurut rosul dan sahabatnya.

InsyaAllah bersambung….