MUDZAKARAH ULAMA

ومن الناس والدّواب والانعم مختلفٌ الونه كذلك انما يخشى الله من عباده العلماء انّ الله عزيزٌ غفورٌ ـ

Sabtu, 24 Februari 2024

MANAJEMEN KEPEMIMPINAN YANG KENYAL (2)

 

A. Dalil Pokok:

فَبِمَا رَحْمَةٍ مِّنَ اللّٰهِ لِنْتَ لَهُمْ ۚ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيْظَ الْقَلْبِ لَانْفَضُّوْا مِنْ حَوْلِكَ ۖ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِى الْاَمْرِۚ فَاِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللّٰهِ ۗ اِنَّ اللّٰهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِيْنَ ١٥٩  )ال عمرن : 159(

B. Tentang Musyawarah

Pada bagian kedua pengkajian Surah Ali Imran ayat 159 ini, dibahas mengenai musyawarah. Sekurangnya ada dua ayat lain yang secara lafadz menerangkan tentang musyawarah (Qs.42:38 dan 2 : 233). Adapun ta’rif musyawarah adalah berasal dari kata ( مشاورة).   Ia adalah masdar dari kata kerja  شور - يشور, yang berakar kata       {ر  ش و} dengan pola fa’ala. Struktur akar kata tersebut bermakna pokok “menampakkan dan menawarkan sesuatu”. Dari makna terakhir ini muncul ungkapan شورت فلانا في الامر  (aku mengambil pendapat si Fulan mengenai urusanku)2).

Pendapat senada mengemukakan bahwa musyawarah pada mulanya bermakna “mengeluarkan madu dari sarang lebah”. Makna ini kemudian berkembang sehingga mencakup segala sesuatu yang dapat diambil atau dikeluarkan dari yang lain (termasuk pendapat). Karenanya, kata musyawarah pada dasarnya hanya digunakan untuk hal-hal yang baik, sejalan dengan makna dasarnya. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, musyawarah diartikan sebagai: pembahasan bersama dengan maksud mencapai keputusan atas penyelesaian masalah bersama. Selain itu dipakai juga kata musyawarah yang berarti berunding dan berembuk.3)

 

C. Dasar Panduan Hadits

 

حَدَّثَنَا هَنَّادٌ حَدَّثَنَا أَبُو مُعَاوِيَةَ عَنْ الْأَعْمَشِ عَنْ عَمْرِو بْنِ مُرَّةَ عَنْ أَبِي عُبَيْدَةَ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ لَمَّا كَانَ يَوْمُ بَدْرٍ وَجِيءَ بِالْأُسَارَى قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا تَقُولُونَ فِي هَؤُلَاءِ الْأُسَارَى فَذَكَرَ قِصَّةً فِي هَذَا الْحَدِيثِ طَوِيلَةً قَالَ أَبُو عِيسَى وَفِي الْبَاب عَنْ عُمَرَ وَأَبِي أَيُّوبَ وَأَنَسٍ وَأَبِي هُرَيْرَةَ وَهَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ وَأَبُو عُبَيْدَةَ لَمْ يَسْمَعْ مِنْ أَبِيهِ وَيُرْوَى عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ مَا رَأَيْتُ أَحَدًا أَكْثَرَ مَشُورَةً لِأَصْحَابِهِ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

 

Telah menceritakan kepada kami Hannad berkata, telah menceritakan kepada kami Abu Mu'awiyah dari Al A'masy dari Amru bin Murrah dari Abu Ubaidah dari Abdullah ia berkata, "Ketika perang badar usai dan para tawanan didatangkan, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Apa pendapat kalian mengenai pata tawanan itu…lalu perawi menyebutkan kisah yang panjang dalam hadits ini." Abu Isa berkata, "Dalam bab ini juga ada hadits dari Umar, Abu Ayyub, Anas dan Abu Hurairah. Dan hadits ini derajatnya hasan. Abu Ubaidah belum pernah mendengar dari bapaknya. Telah diriwayatkan pula dari Abu Hurairah, ia berkata, "Aku tidak pernah melihat seseorang yang paling sering bermusyawarah dengan para sahabat selain dari pada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam."

 

D. Pendapat Sahabat Nabi SAW dan Ulama 4)

قال علىُّ : ما هلك امْرُؤُ عن مشا ورةٍ قيل : رجلٌ ونصف رجلٌ ولاشئ فالرجل من له رأي صا ئبٌ ويشاور ونصف رجلٍ من له رأيٌ صائبٌ

ولكن لايشاور اويشاورولكن لارأى له ولاشئ من لارأى له ولا يشاوِرُ        

 

Sayyidina Ali r.a, berkata : tidak akan mengalami kerusakan orang yang mau bermusyawarah. Sebagian ulama ada yang mengatakan, keadaan manusia (dalam hal musyawarah) ada tiga macam :

1.    Orang yang sempurna, yaitu orang yang mempunyai gagasan yang benar,  dan mau bermusyawarah.

2.    Setengah sempurna, yaitu orang yang mempunyai gagasan yang benar,  dan tidak mau bermusyawarah. Atau mau bermusyawarah, namun tidak mempunyai gagasan yang benar.

3.    Tidak termasuk manusia, apabila ada orang yang tidak mempunyai gagasan yang benar, dan tidak mau bermusyawarah.

 

 E. Analisa Dalil

.......فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِى الْاَمْرِۚ فَاِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللّٰهِ ۗ اِنَّ اللّٰهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِيْنَ ١٥٩

Bagi pemimpin dalam mengelola dan menggerakkan umat, maka faktor akhlaq semestinya mendasarinya. Hal ini dibuktikan dengan sikap pemaaf dan memohonkan ampunan bagi kekeliruan umat. Kemudian dalam melaksanakan program kerja senantiasa mengajak bermusyawarah atau berunding guna mencari jalan terbaik. Apabila hasil musyawarah berupa kemufakatan bersama lalu telah diteguhkannya atau disahkan  (فَاِذَا عَزَمْتَ), maka semua musyawirin berkewajiban melaksanakannya, apapun konsekuensi dan resikonya.  Karena kewajiban hamba Allah hanya melaksanakan tugas, adapun hasil akhir diserahkan (tawakkal) kepadaNya.

Umat yang diajak bermusyawarah akan memiliki tanggung jawab lahir – bathin terhadap semua keputusan musyawarah. Allah mencintai orang – orang yang bertawakal, sebaliknya membenci sikap khianat dan pengecut yang lari dari tanggung jawab. Musyawarah merupakan intisari terbaik dan akomodatif dari semua  pandangan yang benar untuk tujuan tertinggi, tegaknya urusan Dinul Islam. Semua urusan bagi kepentingan nafsu dan ego pribadi serta kelompok mesti dikalahkan demi berlakunya Syariat Dinullah.

Seorang pemimpin akan jadi sorotan umat, ia akan berhadapan dengan public opinion (komentar dan kritikan masyarakat) atas semua sikap dan keputusannya. Selama ia berada pada pijakan dan motivasi yang benar, maka jiwa raganya harus berani menanggungnya dengan landasan akhlaq mulia, yaitu sikap kasih sayang dengan penuh keakraban. Sikapnya jujur berfihak pada kebenaran, meluruskan yang keliru dan memaklumi kekurangan umat. Kondisi hati yang keras (فَظًّا), artinya memaksakan pandangan pribadi karena ujub, lalu kasar hati (غَليظَ القَلْبِ), yaitu menyalahkan dan merendahkan orang lain demi berkompensasi atas kekeliruan diri, berakibat umat jadi berpencar dari kebersamaan. Berjalan atau mandegnya suatu program adalah tanggung jawab pemimpin, karena fungsi kontrol dan evaluasi terhadap progres report berada di pundaknya. Setiap mukmin sejatinya penanggung jawab sesuai jabatan dan fungsinya, kelak di akhirat akan disoal akan hal ini (وكُلُكُمْ مَسْؤُلٌ   كُلُكُمْ رَاعٍ).

Musyawarah berbeda dengan debat (mujadalah) karena dilarang dilakukan sesama mukmin (Qs.29:46), tidak sama dengan “rapat kerja” seperti lazimnya organisasi dalam meluluskan proyek dengan memaksa menggoalkan pendapat masing – masing. Dalam musyawarah terkandung didalamnya proses mudzakarah, munadharah, mutholaah, azzam dan tawakkal. Oleh karena itu pimpinan harus menjelaskan urusan apa yang akan dimusyawarahkan, bukan memperdebatkan dalil. Musyawirin harus faham urusan tersebut dan memiliki pandangan yang benar, niat yang tulus, serta sikap bertanggung jawab. Kapasitas dan kapabilitas manusia dalam bermusyawarah dibagi menjadi 3 kriteria. Maka demi mencapai keputusan yang tepat, hendaklah musyawirin memenuhi persyaratan pada kriteria pertama, yaitu manusia yang seutuhnya atau mumpuni. (2/Ahad, rabiul ‘ula 1444 H, Abu Abdul Karim)

 

Rujukan:

1) Kitab At Thobary, Tafsir Kuliyah Subuh, al Mukarram Ustadz Muhammad Bardan Kindarto.

2) Abu Husayn Ahmad bin Faris bin Zakariyya, Mu‟jam Maqayis al-Lughah, Juz III (Mesir: Mustafa AlBab al-Halabi, 1972), 226.

3) Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1989), 603.

4) Kitab Ta’lim Muta’alim, disusun Burhânuddîn Ibrâhim al-Zarnûji al-Hanafi.

 

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda