MUDZAKARAH ULAMA

ومن الناس والدّواب والانعم مختلفٌ الونه كذلك انما يخشى الله من عباده العلماء انّ الله عزيزٌ غفورٌ ـ

Sabtu, 24 Februari 2024

MANAJEMEN KEPEMIMPINAN YANG KENYAL (2)

 

A. Dalil Pokok:

فَبِمَا رَحْمَةٍ مِّنَ اللّٰهِ لِنْتَ لَهُمْ ۚ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيْظَ الْقَلْبِ لَانْفَضُّوْا مِنْ حَوْلِكَ ۖ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِى الْاَمْرِۚ فَاِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللّٰهِ ۗ اِنَّ اللّٰهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِيْنَ ١٥٩  )ال عمرن : 159(

B. Tentang Musyawarah

Pada bagian kedua pengkajian Surah Ali Imran ayat 159 ini, dibahas mengenai musyawarah. Sekurangnya ada dua ayat lain yang secara lafadz menerangkan tentang musyawarah (Qs.42:38 dan 2 : 233). Adapun ta’rif musyawarah adalah berasal dari kata ( مشاورة).   Ia adalah masdar dari kata kerja  شور - يشور, yang berakar kata       {ر  ش و} dengan pola fa’ala. Struktur akar kata tersebut bermakna pokok “menampakkan dan menawarkan sesuatu”. Dari makna terakhir ini muncul ungkapan شورت فلانا في الامر  (aku mengambil pendapat si Fulan mengenai urusanku)2).

Pendapat senada mengemukakan bahwa musyawarah pada mulanya bermakna “mengeluarkan madu dari sarang lebah”. Makna ini kemudian berkembang sehingga mencakup segala sesuatu yang dapat diambil atau dikeluarkan dari yang lain (termasuk pendapat). Karenanya, kata musyawarah pada dasarnya hanya digunakan untuk hal-hal yang baik, sejalan dengan makna dasarnya. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, musyawarah diartikan sebagai: pembahasan bersama dengan maksud mencapai keputusan atas penyelesaian masalah bersama. Selain itu dipakai juga kata musyawarah yang berarti berunding dan berembuk.3)

 

C. Dasar Panduan Hadits

 

حَدَّثَنَا هَنَّادٌ حَدَّثَنَا أَبُو مُعَاوِيَةَ عَنْ الْأَعْمَشِ عَنْ عَمْرِو بْنِ مُرَّةَ عَنْ أَبِي عُبَيْدَةَ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ لَمَّا كَانَ يَوْمُ بَدْرٍ وَجِيءَ بِالْأُسَارَى قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا تَقُولُونَ فِي هَؤُلَاءِ الْأُسَارَى فَذَكَرَ قِصَّةً فِي هَذَا الْحَدِيثِ طَوِيلَةً قَالَ أَبُو عِيسَى وَفِي الْبَاب عَنْ عُمَرَ وَأَبِي أَيُّوبَ وَأَنَسٍ وَأَبِي هُرَيْرَةَ وَهَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ وَأَبُو عُبَيْدَةَ لَمْ يَسْمَعْ مِنْ أَبِيهِ وَيُرْوَى عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ مَا رَأَيْتُ أَحَدًا أَكْثَرَ مَشُورَةً لِأَصْحَابِهِ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

 

Telah menceritakan kepada kami Hannad berkata, telah menceritakan kepada kami Abu Mu'awiyah dari Al A'masy dari Amru bin Murrah dari Abu Ubaidah dari Abdullah ia berkata, "Ketika perang badar usai dan para tawanan didatangkan, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Apa pendapat kalian mengenai pata tawanan itu…lalu perawi menyebutkan kisah yang panjang dalam hadits ini." Abu Isa berkata, "Dalam bab ini juga ada hadits dari Umar, Abu Ayyub, Anas dan Abu Hurairah. Dan hadits ini derajatnya hasan. Abu Ubaidah belum pernah mendengar dari bapaknya. Telah diriwayatkan pula dari Abu Hurairah, ia berkata, "Aku tidak pernah melihat seseorang yang paling sering bermusyawarah dengan para sahabat selain dari pada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam."

 

D. Pendapat Sahabat Nabi SAW dan Ulama 4)

قال علىُّ : ما هلك امْرُؤُ عن مشا ورةٍ قيل : رجلٌ ونصف رجلٌ ولاشئ فالرجل من له رأي صا ئبٌ ويشاور ونصف رجلٍ من له رأيٌ صائبٌ

ولكن لايشاور اويشاورولكن لارأى له ولاشئ من لارأى له ولا يشاوِرُ        

 

Sayyidina Ali r.a, berkata : tidak akan mengalami kerusakan orang yang mau bermusyawarah. Sebagian ulama ada yang mengatakan, keadaan manusia (dalam hal musyawarah) ada tiga macam :

1.    Orang yang sempurna, yaitu orang yang mempunyai gagasan yang benar,  dan mau bermusyawarah.

2.    Setengah sempurna, yaitu orang yang mempunyai gagasan yang benar,  dan tidak mau bermusyawarah. Atau mau bermusyawarah, namun tidak mempunyai gagasan yang benar.

3.    Tidak termasuk manusia, apabila ada orang yang tidak mempunyai gagasan yang benar, dan tidak mau bermusyawarah.

 

 E. Analisa Dalil

.......فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِى الْاَمْرِۚ فَاِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللّٰهِ ۗ اِنَّ اللّٰهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِيْنَ ١٥٩

Bagi pemimpin dalam mengelola dan menggerakkan umat, maka faktor akhlaq semestinya mendasarinya. Hal ini dibuktikan dengan sikap pemaaf dan memohonkan ampunan bagi kekeliruan umat. Kemudian dalam melaksanakan program kerja senantiasa mengajak bermusyawarah atau berunding guna mencari jalan terbaik. Apabila hasil musyawarah berupa kemufakatan bersama lalu telah diteguhkannya atau disahkan  (فَاِذَا عَزَمْتَ), maka semua musyawirin berkewajiban melaksanakannya, apapun konsekuensi dan resikonya.  Karena kewajiban hamba Allah hanya melaksanakan tugas, adapun hasil akhir diserahkan (tawakkal) kepadaNya.

Umat yang diajak bermusyawarah akan memiliki tanggung jawab lahir – bathin terhadap semua keputusan musyawarah. Allah mencintai orang – orang yang bertawakal, sebaliknya membenci sikap khianat dan pengecut yang lari dari tanggung jawab. Musyawarah merupakan intisari terbaik dan akomodatif dari semua  pandangan yang benar untuk tujuan tertinggi, tegaknya urusan Dinul Islam. Semua urusan bagi kepentingan nafsu dan ego pribadi serta kelompok mesti dikalahkan demi berlakunya Syariat Dinullah.

Seorang pemimpin akan jadi sorotan umat, ia akan berhadapan dengan public opinion (komentar dan kritikan masyarakat) atas semua sikap dan keputusannya. Selama ia berada pada pijakan dan motivasi yang benar, maka jiwa raganya harus berani menanggungnya dengan landasan akhlaq mulia, yaitu sikap kasih sayang dengan penuh keakraban. Sikapnya jujur berfihak pada kebenaran, meluruskan yang keliru dan memaklumi kekurangan umat. Kondisi hati yang keras (فَظًّا), artinya memaksakan pandangan pribadi karena ujub, lalu kasar hati (غَليظَ القَلْبِ), yaitu menyalahkan dan merendahkan orang lain demi berkompensasi atas kekeliruan diri, berakibat umat jadi berpencar dari kebersamaan. Berjalan atau mandegnya suatu program adalah tanggung jawab pemimpin, karena fungsi kontrol dan evaluasi terhadap progres report berada di pundaknya. Setiap mukmin sejatinya penanggung jawab sesuai jabatan dan fungsinya, kelak di akhirat akan disoal akan hal ini (وكُلُكُمْ مَسْؤُلٌ   كُلُكُمْ رَاعٍ).

Musyawarah berbeda dengan debat (mujadalah) karena dilarang dilakukan sesama mukmin (Qs.29:46), tidak sama dengan “rapat kerja” seperti lazimnya organisasi dalam meluluskan proyek dengan memaksa menggoalkan pendapat masing – masing. Dalam musyawarah terkandung didalamnya proses mudzakarah, munadharah, mutholaah, azzam dan tawakkal. Oleh karena itu pimpinan harus menjelaskan urusan apa yang akan dimusyawarahkan, bukan memperdebatkan dalil. Musyawirin harus faham urusan tersebut dan memiliki pandangan yang benar, niat yang tulus, serta sikap bertanggung jawab. Kapasitas dan kapabilitas manusia dalam bermusyawarah dibagi menjadi 3 kriteria. Maka demi mencapai keputusan yang tepat, hendaklah musyawirin memenuhi persyaratan pada kriteria pertama, yaitu manusia yang seutuhnya atau mumpuni. (2/Ahad, rabiul ‘ula 1444 H, Abu Abdul Karim)

 

Rujukan:

1) Kitab At Thobary, Tafsir Kuliyah Subuh, al Mukarram Ustadz Muhammad Bardan Kindarto.

2) Abu Husayn Ahmad bin Faris bin Zakariyya, Mu‟jam Maqayis al-Lughah, Juz III (Mesir: Mustafa AlBab al-Halabi, 1972), 226.

3) Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1989), 603.

4) Kitab Ta’lim Muta’alim, disusun Burhânuddîn Ibrâhim al-Zarnûji al-Hanafi.

 

MANAJEMEN KEPEMIMPINAN YANG KENYAL

 

فَبِمَا رَحْمَةٍ مِّنَ اللّٰهِ لِنْتَ لَهُمْ ۚ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيْظَ الْقَلْبِ لَانْفَضُّوْا مِنْ حَوْلِكَ ۖ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِى الْاَمْرِۚ فَاِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللّٰهِ ۗ اِنَّ اللّٰهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِيْنَ ١٥٩  )ال عمرن : 159(

Tashawwur :

Diantara sudut penafsiran ayat di atas, adalah arahan khusus bagi tiap individu mukmin yang diserahi amanah kepemimpinan untuk mengelola dan menggerakkan umat. Maka dituntut mendasari kepribadiannya dengan akhlaq dan bergerak dengan ilmu menejemen keumatan, yaitu sikap لَّيِّناً .

Uraian Ringkas : 1)

Beberapa lafadz pokok akan kami uraikan untuk mendapatkan gambaran ringkas terhadap maknanya berdasarkan kaidah ilmu tafsir, insyaAllah.

Huruf  ماpada lafadz  فبما mengarah kepada faktor akhlaq (Qs.68:4) yang menjadi dasar untuk mendapatkan rahmat Allah ta’ala. Sedangkan definisi akhlaq dalam terjemahnya adalah “suatu dorongan reflek (spontan) dalam diri manusia untuk melakukan suatu perbuatan tanpa melibatkan fikiran dan pertimbangan akibatnya”. Orang yang memiliki akhlaq yang tinggi itu merupakan suatu nikmat rahmat pemberian Allah SWT, karena hal ini muncul dari rasa kasih sayang yang mendalam dan keakraban sehingga terpancar dalam pribadi Rasulullah SAW sebagai pemimpin umat (Qs.9:128).

Sedangkan dalam hadits qudsi diterangkan bahwa   رحمة من اللّه ada 100 jumlahnya, 99 disimpan untuk penduduk jannah, sisanya diturunkan ke dunia untuk makhluqNya. Maka berupaya menggapai rahmat Allah di dunia adalah ikhtiar wajib guna mengaharap rahmat yang disediakanNya tersebut. Oleh karena itu, sudah selayaknya pemimpin yang berakhlaq memiliki kepekaan ( (عَزِيْزٌ terhadap keadaan lingkungan dan  program pengentasan (حَرِيصٌ ) problema umatnya  (adaptif program). Karenanya orang yang tidak berakhlaq ciri belum berkasih sayang dan mendapat rahmat Allah SWT.

Pada lafadz  لِنتَ  , dimana dlomirnya mufrod menunjuk kepada Rasulullah SAW (fungsi pemandu), asal katanya dariلَّيِّناً   yang bermakana kenyal ; adaftif; akomodatif ; santun. (QS. 20:44). Sedangkan  لَهٌم (terhadap mereka), menunjuk jamak  yaitu umat yang dipandu. Kenyal; santun bukan sekadar “senyam –senyum”, tapi sikap jujur membela yang benar dan membenahi yang salah. Sedangkan sikap yang berseberangan dengan ini adalah فَظًّا غَليظَ القَلْبِ   (keras dan kasar hati), sikap masa bodoh dan memaksakan pendapatnya, juga berkompensasi atas kekeliruannya dengan menyalahkan orang lain. Hal ini didorongkan oleh penyakit hati (Qs.22:53) yang rawan terkena fitnah syaithon sehingga umat menjadi berpencar dari tata kehidupan berjamaah.  

Pembahasan :

Dalam hadits Rasulullah SAW, dari banyak jalur sahabat antara lain Ibnu Umar ra., mengupas 3 macam penyakit hati yang berbahaya :

ثَلاَثٌ مُهْلِكَاةٌ : شٌحُّ مُطَاعٌ وَهَوًى مُطُّبَعٌ وَاِعْجَابٌ الْمرْءِ بِنَفْسِهِ  {رواه:  الطّبرني}

1. Kekikiran yang patuhi, akan bercabang ke perbuatan hasud

2. Hawa nafsu yang diikuti, akan bercabang ke perbuatan riak

3. Kagum dengan diri sendiri akan bercabang ke perbuatan takabur.

Hasud akan membakar kebaikan sebagaimana api membakar kayu. Riak (syirik khofi) membatalkan amal sholeh. Takabur mendatangkan kehinaan dan terputus dari rahmat Allah di dunia dan akhirat. Maka akhlaq yang agung dan mulia terbentuk dari kondisi hati manusia yang sadar diri dan ingat akan pengawasan Allah ta’ala (ihsan) baik dikeramaian manusia atau kondisi bersendiri, lalu mengikuti adab yang dicontohkan Rasulullah SAW dalam pergaulan sehari – hari. Mari kita bertaubat dari perbuatan dimaksud dan berlindung kepada Allah dari berbagai penyakit hati. (1/Ahad, rabiul ‘ula 1444 H, Abu Abdul Karim)

Upaya Menggapai Rahmat Allah Ta’ala

 

قُل لِّمَن مَّا فِي ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلۡأَرۡضِۖ قُل لِّلَّهِۚ كَتَبَ عَلَىٰ نَفۡسِهِ ٱلرَّحۡمَةَۚ لَيَجۡمَعَنَّكُمۡ إِلَىٰ يَوۡمِ ٱلۡقِيَٰمَةِ لَا رَيۡبَ فِيهِۚ ٱلَّذِينَ خَسِرُوٓاْ أَنفُسَهُمۡ فَهُمۡ لَا يُؤۡمِنُونَ  ١٢

Katakanlah: "Kepunyaan siapakah apa yang ada di langit dan di bumi". Katakanlah: "Kepunyaan Allah". Dia telah menetapkan atas Diri-Nya kasih sayang. Dia sungguh akan menghimpun kamu pada hari kiamat yang tidak ada keraguan padanya. Orang-orang yang merugikan dirinya mereka ialah yang tidak beriman (Qs.6:12)

Ta’rif :

Makna dari ayat di atas tentu sangatlah luas, namun di antara gambaran umumnya meliputi perintah tegas bagi hamba – hamba Allah SWT agar tidak menjadi golongan yang merugi dengan berlomba – lomba  menggapai kebahagian dan keberuntungan di dunia dan akhirat.

Allah SWT memperkenalkan sifat Rahmat-Nya berupa kasih sayang bagi seluruh makhluq-Nya. Namun bagi hamba – hamba-Nya yang menepati kaidah bersyukur, maka akan mendapatkan suatu nikmat yang khusus dan sangat luas tak terkira. Sebagaimana diterangakan oleh Rasulullah saw :

عن أبي هريرة رضي الله عنه قال رسول الله عليه الصّلاة والسّلام: إن لله مائة رحمة، واحدة بين الجن والإنس والبهائم والهوام، فبها يتعاطفون، وبها يتراحمون، وبها يتعاطف الوحوش على أولادها، وأخَّر تسعاً وتسعين رحمة يرحم بها عباده يوم القيامة

“Sesungguhnya Allah memiliki 100 rahmat. Salah satu di antaranya diturunkannya kepada kaum jin, manusia, hewan, dan tetumbuhan. Dengan rahmat itulah mereka saling berbelas kasih dan menyayangi. Dengannya pula binatang liar mengasihi anaknya. Dan Allah mengakhirkan 99 rahmat untuk Dia curahkan kepada hamba-hamba-Nya pada hari kiamat.”(Muttafaq ‘alaih, dalam Shahih Bukhari no 6104 dan Shahih Muslim no 2725, lafal hadits ini dari Abu Hurairah ra)

Maka dengan mensyukuri nikmat yang Dia turunkan di dunia maka insyaAllah kita akan mendapat 99 rahmat yang Allah akhirkan bagi penghuni Jannah.

Pembahasan :

Secara ringkas ada tiga upaya yang mesti diupayakan dalam menggapai rahmat Allah SWT :

1.   Rahmat dalam Kalamullah (Qs.7 : 204)

     Dituntut bagi tiap pribadi mukmin agar senantiasa melazimkan diri menghadiri Majelis Ilmu yang mengkaji Al-Quran dengan sungguh – sungguh menyimak dan menghadirkan hati.

2.   Rahmat dalam berinteraksi kepada manusia yang memiliki tahapan : dalam rumah tangga (Qs.30:21); hubungan sesama muslim (Qs.42:23); dan interaksi positif kepada semua manusia (Qs.49:13) dalam bentuk istilah symbiosis mutualism dan symbiosis mutual serves.

3.   Kewajiban mengagungkan Rahmat Allah (Qs.22:78)

Yaitu suatu tugas khusus (وَجَٰهِدُواْ فِي ٱللَّهِ حَقَّ جِهَادِهِۦ)   bagi manusia – manusia pilihan                             (هُوَ ٱجۡتَبَىٰكُم) berupa kesungguhan membangun umat (Qs.23:12-19), yang meliputi 3 pekerjaan pokok: Tegaknya nilai – nilai manusia dan kemanusian, Pengelolaan Sumber Daya Alam, dan Keharmonisan atau Keseimbangan semesta alam.

     Untuk maksud inilah kita dituntut kesemangatan sempurna dalam langkah – langkah Islam tanpa mengenal absen (Qs.9:44) yang diawali dengan penegakkan sholat, mendatangkan zakat, dan lahir bathin berpegang teguh pada pengharapan kepada Allah subhanahu wa ta’ala semata – mata.                           

Rabu, 07 Februari 2024

TENTANG WASIYAT

Wasiyat dapat diklasifikasikan menjadi 2 bagian berdasarkan muatannya, yaitu : Pertama, muatan urusan Dunia (materi). Kedua, muatan urusan Ad Din (Agama). Berikut ayat - ayat Al Quran berkaitan dua klasifikasi wasiyat tersebut. 

وَوَصّٰى بِهَآ اِبْرٰهٖمُ بَنِيْهِ وَيَعْقُوْبُۗ يٰبَنِيَّ اِنَّ اللّٰهَ اصْطَفٰى لَكُمُ الدِّيْنَ فَلَا تَمُوْتُنَّ اِلَّا وَاَنْتُمْ مُّسْلِمُوْنَ ۗ ١٣٢ 
Ibrahim mewasiatkan (ucapan) itu kepada anak-anaknya dan demikian pula Ya‘qub, “Wahai anak-anakku, sesungguhnya Allah telah memilih agama ini untukmu. Janganlah kamu mati kecuali dalam keadaan muslim.” 

 كُتِبَ عَلَيْكُمْ اِذَا حَضَرَ اَحَدَكُمُ الْمَوْتُ اِنْ تَرَكَ خَيْرًا ۖ ۨالْوَصِيَّةُ لِلْوَالِدَيْنِ وَالْاَقْرَبِيْنَ بِالْمَعْرُوْفِۚ حَقًّا عَلَى الْمُتَّقِيْنَ ۗ
Diwajibkan kepadamu, apabila seseorang di antara kamu didatangi (tanda-tanda) maut sedang dia meninggalkan kebaikan (harta yang banyak), berwasiat kepada kedua orang tua dan karib kerabat dengan cara yang patut (sebagai) kewajiban bagi orang-orang yang bertakwa. (QS.2:180)
(Menurut mayoritas ulama, ayat ini dinasakh dengan ayat waris dan hadis “lā waṣiyyata li wāriṡin” : Tidak ada wasiat bagi ahli waris). 

وَاَنَّ هٰذَا صِرَاطِيْ مُسْتَقِيْمًا فَاتَّبِعُوْهُ ۚوَلَا تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيْلِهٖ ۗذٰلِكُمْ وَصّٰىكُمْ بِهٖ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَ ١٥٣ 
Sungguh, inilah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah! Jangan kamu ikuti jalan-jalan (yang lain) sehingga mencerai-beraikanmu dari jalan-Nya. Demikian itu Dia perintahkan kepadamu agar kamu bertakwa. (Qs.6:153)

  شَرَعَ لَكُمْ مِّنَ الدِّيْنِ مَا وَصّٰى بِهٖ نُوْحًا وَّالَّذِيْٓ اَوْحَيْنَآ اِلَيْكَ وَمَا وَصَّيْنَا بِهٖٓ اِبْرٰهِيْمَ وَمُوْسٰى وَعِيْسٰٓى اَنْ اَقِيْمُوا الدِّيْنَ وَلَا تَتَفَرَّقُوْا فِيْهِۗ كَبُرَ عَلَى الْمُشْرِكِيْنَ مَا تَدْعُوْهُمْ اِلَيْهِۗ اَللّٰهُ يَجْتَبِيْٓ اِلَيْهِ مَنْ يَّشَاۤءُ وَيَهْدِيْٓ اِلَيْهِ مَنْ يُّنِيْبُۗ ١٣ 

Dia (Allah) telah mensyariatkan bagi kamu agama yang Dia wasiatkan (juga) kepada Nuh, yang telah Kami wahyukan kepadamu (Nabi Muhammad), dan yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa, dan Isa yaitu: tegakkanlah agama (keimanan dan ketakwaan) dan janganlah kamu berpecah-belah di dalamnya. Sangat berat bagi orang-orang musyrik (untuk mengikuti) agama yang kamu serukan kepada mereka. Allah memilih orang yang Dia kehendaki pada (agama)-Nya dan memberi petunjuk pada (agama)-Nya bagi orang yang kembali (kepada-Nya). (Qs.42:13) 

1. Pengertian Wasiyat 
Wasiat adalah berpesan tentang suatu kebaikan yang akan dijalankan sesudah orang meninggal dunia. Wasiat berasal dari kata washa yang berarti menyampaikan atau memberi pesan atau pengampuan, bentuk jamak dari kata washiyyah. 

2. Wasiyat Taqwa 
Dari beberapa ayat yang kami kutip di atas, khusus berkaitan tentang wasiyat taqwa, yang tujuannya dalam rangka keberlangsungan iqomatuddin. Wasiyat ini merupakan perkara penting, sehingga Allah memerintahkan kepada Rasul Ulul Azmi. Berwasiyat sebelum meninggalkan dunia merupakan satu ciri orang yang bertaqwa (حَقًّا عَلَى الْمُتَّقِيْنَ ). Kedudukannya menjadi wajib (كُتِبَ عَلَيْكُمْ ), baik secara lisan atau tertulis. ( اِنْ تَرَكَ.) merupakan syartiyah (syarat) jika yang bersangkutan memiliki banyak (harta, usaha untuk diamalkan, tanggung jawab keumatan yang harus diserahkan) karena lafadz خَيْرًا merupakan ism nakhirah (bermakna umum) dan kedudukannya dalam kaidah tafsir sebagai musytarak fih (memiliki bermacam jurusan makna). 

3. Sistem Pengukuhan Imamah Adalah Bagian Dari Wasiyat Taqwa 
Ketika mengamati nash-nash Al-Qur’an dan As-Sunnah, kita tidak akan menemukan adanya nash sharih (tegas) yang menentukan sistem untuk menetapkan imamah bagi seorang imam. Yang ada hanya nash-nash umum berkenaan dengan kekuasaan dan pelantikan (pemimpin), entah itu lingkup kecil ataupun besar, seperti nash tentang musyawarah dan semacamnya. Oleh sebab itu, cara yang ada di hadapan kita ialah hanya dengan menelusuri sistem pengangkatan imamah bagi Al-Khulafa Ar-Rasyidun al Mahdiyun. Kita yakin bahwa sistem pengukuhan tersebut adalah syar’i berdasarkan dalil-dalil berikut: 

Pertama ; Kesesatan hidup dan berujung kepada Jahanam jika menentang Rasulullah SAW dan meninggalkan jalan sahabatnya

 وَمَنْ يُّشَاقِقِ الرَّسُوْلَ مِنْۢ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدٰى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيْلِ الْمُؤْمِنِيْنَ نُوَلِّهٖ مَا تَوَلّٰى وَنُصْلِهٖ جَهَنَّمَۗ وَسَاۤءَتْ مَصِيْرًا 
Siapa yang menentang Rasul (Nabi Muhammad) setelah jelas kebenaran baginya dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan dalam kesesatannya dan akan Kami masukkan ke dalam (neraka) Jahanam. Itu seburuk-buruk tempat kembali.(Qs.4:115)

Jalan orang beriman سَبِيْلِ الْمُؤْمِنِيْنَ maksudnya jalan sahabat Nabi SAW, karena ketika ayat ini turun merekalah orang beriman yang hidup bersama Nabi, faham dan mempraktekkannya. 

Kedua; disebutkan dalam hadits panjang Irbadh bin Sariyah, diantaranya sabda Nabi SAW: 
“Hendaklah kalian berpegang teguh kepada sunnahku dan Assunnah para khalifah yang mendapat petunjuk. Berpegang teguhlah kepadanya dan gigitiah ia dengan gigi-gigi geraham. Dan jauhilah perkara-perkara (agama) yang dibuat-buat, karena setiap bid’ah itu sesat.”! 

add: 
A) Hadits ini merupakan perintah tegas dari Nabi SAW kepada umatnya untuk berpegang teguh pada As-sunnah beliau dan sunah Al-Khulafa ArRasyidun. Dan di antara sunah Al-Khulafa Ar-Rasyidun adalah sistem pelantikan (khalifah). Ibnu Rajab Al-Hanbali menuturkan, “Perintah Nabi SAW untuk mengikuti sunah beliau dan sunah Al-Khulafa Ar-Rasyidun sepeninggal beliau, juga perintah beliau untuk mendengar dan patuh kepada para pemimpin secara umum, menunjukkan bahwa sunah Al-Khulafa Ar Rasyidun harus diikuti seperti halnya sunah Nabi SAW, berbeda dengan para pemimpin lain. Ketiga; sabda Nabi SAW: “Ikutilah dua orang sepeninggalku; Abu Bakar dan Umar.” 

B) Lafal dalam riwayat lain menyebutkan: 
“Aku tidak tahu berapa lama lagi aku berada di tengah-tengah kalian. Maka, ikutilah dua orang sepeninggalku,” sembari beliau menunjuk ke arah Abu Bakar dan Umar.3)

Ini adalah nash tegas tentang kewajiban mengikuti sunah Abu Bakar dan Umar r.a., di antara bentuk mengikuti keduanya ialah dalam hal penunjukkan seorang khalifah. Di samping itu, Al-Khulafa Ar-Rasyidun yang lain sepeninggal keduanya juga tidak menyimpang dari cara yang dipakai keduanya dalam pemilihan khalifah. Perintah untuk mengikuti Abu Bakar dan Umar di dalam hadits ini lebih khusus dari perintah untuk mengikuti sunah mereka yang disebutkan dalam hadits sebelumnya, seperti dituturkan Syaikhuilslam |lbnuTaimiyah 433], “Nabi memerintahkan untuk mengikuti As-sunnah Al-Khulafa Ar-Rasyidun. Perintah ini mencakup empat khalifah. 

Selanjutnya Abu Bakar dan Umar dikhususkan untuk diikuti. Tingkatan orang yang diikuti amal perbuatannya dan juga sunahnya tentu lebih tinggi dari tingkatan orang yang hanya diikuti sunnahnya saja.”! Keempat; ijma’ Sahabat Nabi SAW Ijma’ adalah hujjah syar’iyah. Lantas bagaimana kiranya dengan ijma’ para shahabat dan generasi pertama di antara mereka, karena di antara sekian banyaknya riwayat yang menuturkan secara detail segala peristiwa, situasi, dan diskusi di antara para shahabat terkait pemilihan Al-Khulafa ArRasyidun, tidak ada satu riwayat dari seorang shahabat pun yang mencela tata cara pemilihan para khalifah. 

Jika pun ada perbedaan pandangan—bisa dibilang sangat kecil— namun pada akhirnya berujung pada kesepakatan di Saqifah, tidak seperti yang dikira sebagian ahli sejarah. Itu pun yang diperdebatkan hanya siapa yang ditunjuk sebagai pemimpin, bukan tata cara suksesi kepemimpinan. Perbedaan ini berakhir setelah semua pihak menerima dan setelah seluruh hujjah dan dalil nampak dengan jelas. Era Al-Khulafa Ar-Rasyidunadalah era penerapan Islam secara sempurna. Merekalah yang berjihad bersama Rasulullah SAW, mengorbankan jiwa dan raga di jalan Allah, dan hidup bersama Al-Qur’an sesaat demi sesaat. Oleh karena itu, mereka adalah orang-orang yang paling memahami dan mengetahui kaidah dan tujuan-tujuan syariat. 

Mereka melakukan banyak amalan dan menyepakatinya. Mereka tidak memiliki dalil khusus terkait amalan-amalan yang mereka lakukan. Landasan mereka terkait hal itu adalah maslahat yang sesuai dengan tujuan-tujuan syariat. Misalnya, mengumpulkan AlQur'an, mengodifikasi kitab-kitab agama, penunjukan Umar oleh Abu Bakar sebagai khalifah sepeninggalnya, penyerahan urusan khilafah kepada enam shahabat oleh Umar, dan berbagai maslahat lain yang diakui secara syar’i. Siapa mengingkari maslahat-maslahat ini, ia tidak mengetahui dan tidak memahami manhaj salaf. Untuk itu, kita perlu mengulas sejarah pembaiatan Al-Khulafa ArRasyidun secara singkat. 

Sebelum mulai mengulas sejarah pembaiatan ini, kita perlu memastikan terlebih dahulu apakah ada nash sharih (tegas) dari Rasulullah SAW, yang menunjukkan Abu Bakar Ash-Shidiq adalah khalifah sepeninggal beliau, ataukah kekhalifahan Abu Bakar absah berdasarkan pemilihan? Demikian halnya dengan klaim Rafidhah akan adanya nash bahwa Ali sebagai khalifah. Apakah klaim ini memiliki dasar hukum dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah? Ataukah hanya sebatas kebohongan Rafidhah terhadap Allah, Rasul-Nya, dan para shahabat? 

4. Berkaitan Pengukuhan Kepemimpinan Sebuah Tandhim al Jamaah Masa Kini 
Ada suatu kaidah berasal dari Atsar sahabat Nabi SAW Umar bin Khatab ra.: 

عَنْ تَمِيمٍ الدَّارِيِّ قَالَ تَطَاوَلَ النَّاسُ فِي الْبِنَاءِ فِي زَمَنِ عُمَرَ فَقَالَ عُمَرُ يَا مَعْشَرَ الْعُرَيْبِ الْأَرْضَ الْأَرْضَ إِنَّهُ لَا إِسْلَامَ إِلَّا بِجَمَاعَةٍ وَلَا جَمَاعَةَ إِلَّا بِإِمَارَةٍ وَلَا إِمَارَةَ إِلَّا بِطَاعَةٍ فَمَنْ سَوَّدَهُ قَوْمُهُ عَلَى الْفِقْهِ كَانَ حَيَاةً لَهُ وَلَهُمْ وَمَنْ سَوَّدَهُ قَوْمُهُ عَلَى غَيْرِ فِقْهٍ كَانَ هَلَاكًا لَهُ وَلَهُمْ. 

“Dari Tamim Ad Dari radliallahu ‘anhu ia berkata: “Orang-orang berlomba-lomba mempertinggi bangunan pada zaman Umar, lalu Umar berkata: ‘Wahai masyarakat Arab ingatlah tanah, ingatlah tanah, sesungguhnya tidak ada Islam kecuali dengan berjama’ah, dan tidak ada jama’ah kecuali dengan adanya kepemimpinan, dan tidak ada (gunanya) kepemimpinan kecuali dengan ketaatan. Barangsiapa yang dihormati kaumnya karena ilmu, hal demikian membawa kebaikan untuk kehidupan dirinya dan masyarakatnya, dan barangsiapa yang dihormati oleh kaumnya bukan karena ilmu, maka ia hancur (begitu juga dengan) kaumnya’.” (HR. Al-Darimi: 253). 

Pada masa Umar bin Khattab, ada orang-orang bermegah-megah dan sombong dalam membangun rumah. Kemudian Umar bin Khattab melihat, bahwa sebagian kaum Muslimin terjangkit penyakit hedonisme (tamak harta) dan berlomba-lomba meninggikan bangunan. Dan hal itu memicu gaya hidup yang individualistik. Hal ini terjadi karena saat itu kaum Muslimin baru saja mengalahkan dua dinasti besar (Romawi dan Persia), sehingga banyak diantara mereka yg menjadi OKB (orang kaya baru), sehingga mereka berlomba-lomba dalam mempertinggi bangunan. 

Umar bin Khattab menasehati mereka bahwa itu semua akan kembali menjadi tanah. Oleh karena itu, Umar memanggil mereka dengan “Uraib” sebutan mengecilkan dari kata “Arab”, atau yang disebut sebagai isim tasghir, yaitu; يَا مَعْشَرَ الْعُرَيْبِ (“Wahai bangsa Arab kecil!) Umar bin Khattab tidak menyebut dengan sebutan yang wajar; يَا مَعْشَرَ الْعرَبِ(“Wahai bangsa Arab.”) Penggunaan isim tasghir ini dimaksudkan untuk menyadarkan bahwa mereka semua memiliki derajat yang sama satu sama yang lain, yaitu merupakan hamba yang sangat kecil bagi Allah. 

Secara hikmah didapatkan bahwa, masalah kehidupan berjamaah dengan dasar ilmu adalah perkara yang harus didahulukan dari pembangunan fasilitas fisik dan materi. Al jamaah pada masa kita sekarang ibarat kafilah – kafilah perjalanan yang dipimpin dan dipandu oleh “Imam Safar”. Tentu syarat dan rukun bagi imam lebih banyak dan ketat dibandingkan menjadi makmum. Diantara syarat ilmu yang dimiliki adalah kefahaman, pengalaman, dan teruji dalam perjalanan menuju Janji Allah dan Rasulullah. Maksudnya adalah tegaknya peradaban umat manusia yang rahmatan lil ‘alamin di akhir zaman dengan Imam tunggal yang dijanjikan, yaitu al Mahdy. 

Selain itu pemimpin juga harus mendapat legitimasi umat secara de facto dan de jure, sehingga fungsi Imam, muadzin, dan makmum dapat ditegakkan. Dalam tandhim pergerakan Islam prinsip dan orientasinya berbeda dengan ormas pada umumnya yang hakikatnya underbow dari sistem politik ‘ala Plato. Dimana prinsip dasar Sistem Politik adalah memperoleh, merebut, dan melanggenggkan kekuasaan manusia atas manusia dengan segala cara (eksploitasi). Dengan kendaraan politik ini, maka tujuan materi, jabatan, dan kepahlawanan yang dicatat manusia dapat dicapai. Jelas sifat ananiyah dan ashobiyah dominan dalam sistem politik. 

Jika dirunut sistem politik dari format kecil menuju sumber induknya yang terbesar, maka dapat dijelaskan : ormas/NGO  parpol  jabatan pemerintahan  penguasa negara bangsa  Persyarikatan Bangsa – Bangsa (PBB). Sedangkan lawan tanding dari sistem politik ini adalah Sistem Siyasah ‘ala Minhaj an Nubuwah, dimana tujuannya adalah keberlakuan Norma Hukum Al Quran atas seluruh manusia dengan Sistem dan Menejemen Al Quran sendiri. Dimulai dari tata kehidupan al jamaah  menyatu dalam Jamiyyah  menuju Daulah Islam yang dijanjikan Allah dan RasulNya, insyaAllah. Demikianlah konsep pemikiran kami berkaitan tema al jamaah, wasiyat dan imamah sebagai bahan musyawarah.

____footnote:_______________________________________________ 1 HR. At-Tirmidzi, kitab; ilmu, bab; 16, hadits nomor 2676 (V/44), ia nyatakan, “Hadits ini hasan shahih.” Abu Dawud, kitab; As-sunnah, bab; 5 (‘Aunul Ma’bdd, X1I/359), lbnu Majah, mukadimah, bab; 6, hadits nomor 42 (1/15), Ahmad (IV/126), Ad-Darimi, mukadimah, bab; 6. Abu Nu’aim berkata, “Hadits ini jayyid, termasuk salah satu hadits shahih orang-orang Syam,” Baca; Jami’ul ‘U/iOm wal Hikam, hal: 243). 2 fami‘ul ‘Ulm wal tikam, Ibnu Rajab Al-Hanbali, hal: 249. 3. HR. Imam Ahmad dalam Al-Musnad (V/382), At-Tirmidzi dan ia nyatakan hasan, kitab; keulamaankeutamaan, bab; 16 (V/609), hadits nomor 3662, lbnu Majah, mukadimah, bab; 11 (1/37), hadits nomor 37, Ibnu Abi Ashim dalam As-Sunnah (1/98), Ibnu Asakir seperti disebutkan dalam Ad-Duer Al-Mants0r W330), dishahihkan Nashiruddin Al-Albani dalam Shahih Al-jami’ Ash-Shaghir, hadits nomor 11531/372). 

Penulis : Al Faqier ilallah Bin Ateh