MUDZAKARAH ULAMA

ومن الناس والدّواب والانعم مختلفٌ الونه كذلك انما يخشى الله من عباده العلماء انّ الله عزيزٌ غفورٌ ـ

Rabu, 07 Februari 2024

TENTANG WASIYAT

Wasiyat dapat diklasifikasikan menjadi 2 bagian berdasarkan muatannya, yaitu : Pertama, muatan urusan Dunia (materi). Kedua, muatan urusan Ad Din (Agama). Berikut ayat - ayat Al Quran berkaitan dua klasifikasi wasiyat tersebut. 

وَوَصّٰى بِهَآ اِبْرٰهٖمُ بَنِيْهِ وَيَعْقُوْبُۗ يٰبَنِيَّ اِنَّ اللّٰهَ اصْطَفٰى لَكُمُ الدِّيْنَ فَلَا تَمُوْتُنَّ اِلَّا وَاَنْتُمْ مُّسْلِمُوْنَ ۗ ١٣٢ 
Ibrahim mewasiatkan (ucapan) itu kepada anak-anaknya dan demikian pula Ya‘qub, “Wahai anak-anakku, sesungguhnya Allah telah memilih agama ini untukmu. Janganlah kamu mati kecuali dalam keadaan muslim.” 

 كُتِبَ عَلَيْكُمْ اِذَا حَضَرَ اَحَدَكُمُ الْمَوْتُ اِنْ تَرَكَ خَيْرًا ۖ ۨالْوَصِيَّةُ لِلْوَالِدَيْنِ وَالْاَقْرَبِيْنَ بِالْمَعْرُوْفِۚ حَقًّا عَلَى الْمُتَّقِيْنَ ۗ
Diwajibkan kepadamu, apabila seseorang di antara kamu didatangi (tanda-tanda) maut sedang dia meninggalkan kebaikan (harta yang banyak), berwasiat kepada kedua orang tua dan karib kerabat dengan cara yang patut (sebagai) kewajiban bagi orang-orang yang bertakwa. (QS.2:180)
(Menurut mayoritas ulama, ayat ini dinasakh dengan ayat waris dan hadis “lā waṣiyyata li wāriṡin” : Tidak ada wasiat bagi ahli waris). 

وَاَنَّ هٰذَا صِرَاطِيْ مُسْتَقِيْمًا فَاتَّبِعُوْهُ ۚوَلَا تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيْلِهٖ ۗذٰلِكُمْ وَصّٰىكُمْ بِهٖ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَ ١٥٣ 
Sungguh, inilah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah! Jangan kamu ikuti jalan-jalan (yang lain) sehingga mencerai-beraikanmu dari jalan-Nya. Demikian itu Dia perintahkan kepadamu agar kamu bertakwa. (Qs.6:153)

  شَرَعَ لَكُمْ مِّنَ الدِّيْنِ مَا وَصّٰى بِهٖ نُوْحًا وَّالَّذِيْٓ اَوْحَيْنَآ اِلَيْكَ وَمَا وَصَّيْنَا بِهٖٓ اِبْرٰهِيْمَ وَمُوْسٰى وَعِيْسٰٓى اَنْ اَقِيْمُوا الدِّيْنَ وَلَا تَتَفَرَّقُوْا فِيْهِۗ كَبُرَ عَلَى الْمُشْرِكِيْنَ مَا تَدْعُوْهُمْ اِلَيْهِۗ اَللّٰهُ يَجْتَبِيْٓ اِلَيْهِ مَنْ يَّشَاۤءُ وَيَهْدِيْٓ اِلَيْهِ مَنْ يُّنِيْبُۗ ١٣ 

Dia (Allah) telah mensyariatkan bagi kamu agama yang Dia wasiatkan (juga) kepada Nuh, yang telah Kami wahyukan kepadamu (Nabi Muhammad), dan yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa, dan Isa yaitu: tegakkanlah agama (keimanan dan ketakwaan) dan janganlah kamu berpecah-belah di dalamnya. Sangat berat bagi orang-orang musyrik (untuk mengikuti) agama yang kamu serukan kepada mereka. Allah memilih orang yang Dia kehendaki pada (agama)-Nya dan memberi petunjuk pada (agama)-Nya bagi orang yang kembali (kepada-Nya). (Qs.42:13) 

1. Pengertian Wasiyat 
Wasiat adalah berpesan tentang suatu kebaikan yang akan dijalankan sesudah orang meninggal dunia. Wasiat berasal dari kata washa yang berarti menyampaikan atau memberi pesan atau pengampuan, bentuk jamak dari kata washiyyah. 

2. Wasiyat Taqwa 
Dari beberapa ayat yang kami kutip di atas, khusus berkaitan tentang wasiyat taqwa, yang tujuannya dalam rangka keberlangsungan iqomatuddin. Wasiyat ini merupakan perkara penting, sehingga Allah memerintahkan kepada Rasul Ulul Azmi. Berwasiyat sebelum meninggalkan dunia merupakan satu ciri orang yang bertaqwa (حَقًّا عَلَى الْمُتَّقِيْنَ ). Kedudukannya menjadi wajib (كُتِبَ عَلَيْكُمْ ), baik secara lisan atau tertulis. ( اِنْ تَرَكَ.) merupakan syartiyah (syarat) jika yang bersangkutan memiliki banyak (harta, usaha untuk diamalkan, tanggung jawab keumatan yang harus diserahkan) karena lafadz خَيْرًا merupakan ism nakhirah (bermakna umum) dan kedudukannya dalam kaidah tafsir sebagai musytarak fih (memiliki bermacam jurusan makna). 

3. Sistem Pengukuhan Imamah Adalah Bagian Dari Wasiyat Taqwa 
Ketika mengamati nash-nash Al-Qur’an dan As-Sunnah, kita tidak akan menemukan adanya nash sharih (tegas) yang menentukan sistem untuk menetapkan imamah bagi seorang imam. Yang ada hanya nash-nash umum berkenaan dengan kekuasaan dan pelantikan (pemimpin), entah itu lingkup kecil ataupun besar, seperti nash tentang musyawarah dan semacamnya. Oleh sebab itu, cara yang ada di hadapan kita ialah hanya dengan menelusuri sistem pengangkatan imamah bagi Al-Khulafa Ar-Rasyidun al Mahdiyun. Kita yakin bahwa sistem pengukuhan tersebut adalah syar’i berdasarkan dalil-dalil berikut: 

Pertama ; Kesesatan hidup dan berujung kepada Jahanam jika menentang Rasulullah SAW dan meninggalkan jalan sahabatnya

 وَمَنْ يُّشَاقِقِ الرَّسُوْلَ مِنْۢ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدٰى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيْلِ الْمُؤْمِنِيْنَ نُوَلِّهٖ مَا تَوَلّٰى وَنُصْلِهٖ جَهَنَّمَۗ وَسَاۤءَتْ مَصِيْرًا 
Siapa yang menentang Rasul (Nabi Muhammad) setelah jelas kebenaran baginya dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan dalam kesesatannya dan akan Kami masukkan ke dalam (neraka) Jahanam. Itu seburuk-buruk tempat kembali.(Qs.4:115)

Jalan orang beriman سَبِيْلِ الْمُؤْمِنِيْنَ maksudnya jalan sahabat Nabi SAW, karena ketika ayat ini turun merekalah orang beriman yang hidup bersama Nabi, faham dan mempraktekkannya. 

Kedua; disebutkan dalam hadits panjang Irbadh bin Sariyah, diantaranya sabda Nabi SAW: 
“Hendaklah kalian berpegang teguh kepada sunnahku dan Assunnah para khalifah yang mendapat petunjuk. Berpegang teguhlah kepadanya dan gigitiah ia dengan gigi-gigi geraham. Dan jauhilah perkara-perkara (agama) yang dibuat-buat, karena setiap bid’ah itu sesat.”! 

add: 
A) Hadits ini merupakan perintah tegas dari Nabi SAW kepada umatnya untuk berpegang teguh pada As-sunnah beliau dan sunah Al-Khulafa ArRasyidun. Dan di antara sunah Al-Khulafa Ar-Rasyidun adalah sistem pelantikan (khalifah). Ibnu Rajab Al-Hanbali menuturkan, “Perintah Nabi SAW untuk mengikuti sunah beliau dan sunah Al-Khulafa Ar-Rasyidun sepeninggal beliau, juga perintah beliau untuk mendengar dan patuh kepada para pemimpin secara umum, menunjukkan bahwa sunah Al-Khulafa Ar Rasyidun harus diikuti seperti halnya sunah Nabi SAW, berbeda dengan para pemimpin lain. Ketiga; sabda Nabi SAW: “Ikutilah dua orang sepeninggalku; Abu Bakar dan Umar.” 

B) Lafal dalam riwayat lain menyebutkan: 
“Aku tidak tahu berapa lama lagi aku berada di tengah-tengah kalian. Maka, ikutilah dua orang sepeninggalku,” sembari beliau menunjuk ke arah Abu Bakar dan Umar.3)

Ini adalah nash tegas tentang kewajiban mengikuti sunah Abu Bakar dan Umar r.a., di antara bentuk mengikuti keduanya ialah dalam hal penunjukkan seorang khalifah. Di samping itu, Al-Khulafa Ar-Rasyidun yang lain sepeninggal keduanya juga tidak menyimpang dari cara yang dipakai keduanya dalam pemilihan khalifah. Perintah untuk mengikuti Abu Bakar dan Umar di dalam hadits ini lebih khusus dari perintah untuk mengikuti sunah mereka yang disebutkan dalam hadits sebelumnya, seperti dituturkan Syaikhuilslam |lbnuTaimiyah 433], “Nabi memerintahkan untuk mengikuti As-sunnah Al-Khulafa Ar-Rasyidun. Perintah ini mencakup empat khalifah. 

Selanjutnya Abu Bakar dan Umar dikhususkan untuk diikuti. Tingkatan orang yang diikuti amal perbuatannya dan juga sunahnya tentu lebih tinggi dari tingkatan orang yang hanya diikuti sunnahnya saja.”! Keempat; ijma’ Sahabat Nabi SAW Ijma’ adalah hujjah syar’iyah. Lantas bagaimana kiranya dengan ijma’ para shahabat dan generasi pertama di antara mereka, karena di antara sekian banyaknya riwayat yang menuturkan secara detail segala peristiwa, situasi, dan diskusi di antara para shahabat terkait pemilihan Al-Khulafa ArRasyidun, tidak ada satu riwayat dari seorang shahabat pun yang mencela tata cara pemilihan para khalifah. 

Jika pun ada perbedaan pandangan—bisa dibilang sangat kecil— namun pada akhirnya berujung pada kesepakatan di Saqifah, tidak seperti yang dikira sebagian ahli sejarah. Itu pun yang diperdebatkan hanya siapa yang ditunjuk sebagai pemimpin, bukan tata cara suksesi kepemimpinan. Perbedaan ini berakhir setelah semua pihak menerima dan setelah seluruh hujjah dan dalil nampak dengan jelas. Era Al-Khulafa Ar-Rasyidunadalah era penerapan Islam secara sempurna. Merekalah yang berjihad bersama Rasulullah SAW, mengorbankan jiwa dan raga di jalan Allah, dan hidup bersama Al-Qur’an sesaat demi sesaat. Oleh karena itu, mereka adalah orang-orang yang paling memahami dan mengetahui kaidah dan tujuan-tujuan syariat. 

Mereka melakukan banyak amalan dan menyepakatinya. Mereka tidak memiliki dalil khusus terkait amalan-amalan yang mereka lakukan. Landasan mereka terkait hal itu adalah maslahat yang sesuai dengan tujuan-tujuan syariat. Misalnya, mengumpulkan AlQur'an, mengodifikasi kitab-kitab agama, penunjukan Umar oleh Abu Bakar sebagai khalifah sepeninggalnya, penyerahan urusan khilafah kepada enam shahabat oleh Umar, dan berbagai maslahat lain yang diakui secara syar’i. Siapa mengingkari maslahat-maslahat ini, ia tidak mengetahui dan tidak memahami manhaj salaf. Untuk itu, kita perlu mengulas sejarah pembaiatan Al-Khulafa ArRasyidun secara singkat. 

Sebelum mulai mengulas sejarah pembaiatan ini, kita perlu memastikan terlebih dahulu apakah ada nash sharih (tegas) dari Rasulullah SAW, yang menunjukkan Abu Bakar Ash-Shidiq adalah khalifah sepeninggal beliau, ataukah kekhalifahan Abu Bakar absah berdasarkan pemilihan? Demikian halnya dengan klaim Rafidhah akan adanya nash bahwa Ali sebagai khalifah. Apakah klaim ini memiliki dasar hukum dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah? Ataukah hanya sebatas kebohongan Rafidhah terhadap Allah, Rasul-Nya, dan para shahabat? 

4. Berkaitan Pengukuhan Kepemimpinan Sebuah Tandhim al Jamaah Masa Kini 
Ada suatu kaidah berasal dari Atsar sahabat Nabi SAW Umar bin Khatab ra.: 

عَنْ تَمِيمٍ الدَّارِيِّ قَالَ تَطَاوَلَ النَّاسُ فِي الْبِنَاءِ فِي زَمَنِ عُمَرَ فَقَالَ عُمَرُ يَا مَعْشَرَ الْعُرَيْبِ الْأَرْضَ الْأَرْضَ إِنَّهُ لَا إِسْلَامَ إِلَّا بِجَمَاعَةٍ وَلَا جَمَاعَةَ إِلَّا بِإِمَارَةٍ وَلَا إِمَارَةَ إِلَّا بِطَاعَةٍ فَمَنْ سَوَّدَهُ قَوْمُهُ عَلَى الْفِقْهِ كَانَ حَيَاةً لَهُ وَلَهُمْ وَمَنْ سَوَّدَهُ قَوْمُهُ عَلَى غَيْرِ فِقْهٍ كَانَ هَلَاكًا لَهُ وَلَهُمْ. 

“Dari Tamim Ad Dari radliallahu ‘anhu ia berkata: “Orang-orang berlomba-lomba mempertinggi bangunan pada zaman Umar, lalu Umar berkata: ‘Wahai masyarakat Arab ingatlah tanah, ingatlah tanah, sesungguhnya tidak ada Islam kecuali dengan berjama’ah, dan tidak ada jama’ah kecuali dengan adanya kepemimpinan, dan tidak ada (gunanya) kepemimpinan kecuali dengan ketaatan. Barangsiapa yang dihormati kaumnya karena ilmu, hal demikian membawa kebaikan untuk kehidupan dirinya dan masyarakatnya, dan barangsiapa yang dihormati oleh kaumnya bukan karena ilmu, maka ia hancur (begitu juga dengan) kaumnya’.” (HR. Al-Darimi: 253). 

Pada masa Umar bin Khattab, ada orang-orang bermegah-megah dan sombong dalam membangun rumah. Kemudian Umar bin Khattab melihat, bahwa sebagian kaum Muslimin terjangkit penyakit hedonisme (tamak harta) dan berlomba-lomba meninggikan bangunan. Dan hal itu memicu gaya hidup yang individualistik. Hal ini terjadi karena saat itu kaum Muslimin baru saja mengalahkan dua dinasti besar (Romawi dan Persia), sehingga banyak diantara mereka yg menjadi OKB (orang kaya baru), sehingga mereka berlomba-lomba dalam mempertinggi bangunan. 

Umar bin Khattab menasehati mereka bahwa itu semua akan kembali menjadi tanah. Oleh karena itu, Umar memanggil mereka dengan “Uraib” sebutan mengecilkan dari kata “Arab”, atau yang disebut sebagai isim tasghir, yaitu; يَا مَعْشَرَ الْعُرَيْبِ (“Wahai bangsa Arab kecil!) Umar bin Khattab tidak menyebut dengan sebutan yang wajar; يَا مَعْشَرَ الْعرَبِ(“Wahai bangsa Arab.”) Penggunaan isim tasghir ini dimaksudkan untuk menyadarkan bahwa mereka semua memiliki derajat yang sama satu sama yang lain, yaitu merupakan hamba yang sangat kecil bagi Allah. 

Secara hikmah didapatkan bahwa, masalah kehidupan berjamaah dengan dasar ilmu adalah perkara yang harus didahulukan dari pembangunan fasilitas fisik dan materi. Al jamaah pada masa kita sekarang ibarat kafilah – kafilah perjalanan yang dipimpin dan dipandu oleh “Imam Safar”. Tentu syarat dan rukun bagi imam lebih banyak dan ketat dibandingkan menjadi makmum. Diantara syarat ilmu yang dimiliki adalah kefahaman, pengalaman, dan teruji dalam perjalanan menuju Janji Allah dan Rasulullah. Maksudnya adalah tegaknya peradaban umat manusia yang rahmatan lil ‘alamin di akhir zaman dengan Imam tunggal yang dijanjikan, yaitu al Mahdy. 

Selain itu pemimpin juga harus mendapat legitimasi umat secara de facto dan de jure, sehingga fungsi Imam, muadzin, dan makmum dapat ditegakkan. Dalam tandhim pergerakan Islam prinsip dan orientasinya berbeda dengan ormas pada umumnya yang hakikatnya underbow dari sistem politik ‘ala Plato. Dimana prinsip dasar Sistem Politik adalah memperoleh, merebut, dan melanggenggkan kekuasaan manusia atas manusia dengan segala cara (eksploitasi). Dengan kendaraan politik ini, maka tujuan materi, jabatan, dan kepahlawanan yang dicatat manusia dapat dicapai. Jelas sifat ananiyah dan ashobiyah dominan dalam sistem politik. 

Jika dirunut sistem politik dari format kecil menuju sumber induknya yang terbesar, maka dapat dijelaskan : ormas/NGO  parpol  jabatan pemerintahan  penguasa negara bangsa  Persyarikatan Bangsa – Bangsa (PBB). Sedangkan lawan tanding dari sistem politik ini adalah Sistem Siyasah ‘ala Minhaj an Nubuwah, dimana tujuannya adalah keberlakuan Norma Hukum Al Quran atas seluruh manusia dengan Sistem dan Menejemen Al Quran sendiri. Dimulai dari tata kehidupan al jamaah  menyatu dalam Jamiyyah  menuju Daulah Islam yang dijanjikan Allah dan RasulNya, insyaAllah. Demikianlah konsep pemikiran kami berkaitan tema al jamaah, wasiyat dan imamah sebagai bahan musyawarah.

____footnote:_______________________________________________ 1 HR. At-Tirmidzi, kitab; ilmu, bab; 16, hadits nomor 2676 (V/44), ia nyatakan, “Hadits ini hasan shahih.” Abu Dawud, kitab; As-sunnah, bab; 5 (‘Aunul Ma’bdd, X1I/359), lbnu Majah, mukadimah, bab; 6, hadits nomor 42 (1/15), Ahmad (IV/126), Ad-Darimi, mukadimah, bab; 6. Abu Nu’aim berkata, “Hadits ini jayyid, termasuk salah satu hadits shahih orang-orang Syam,” Baca; Jami’ul ‘U/iOm wal Hikam, hal: 243). 2 fami‘ul ‘Ulm wal tikam, Ibnu Rajab Al-Hanbali, hal: 249. 3. HR. Imam Ahmad dalam Al-Musnad (V/382), At-Tirmidzi dan ia nyatakan hasan, kitab; keulamaankeutamaan, bab; 16 (V/609), hadits nomor 3662, lbnu Majah, mukadimah, bab; 11 (1/37), hadits nomor 37, Ibnu Abi Ashim dalam As-Sunnah (1/98), Ibnu Asakir seperti disebutkan dalam Ad-Duer Al-Mants0r W330), dishahihkan Nashiruddin Al-Albani dalam Shahih Al-jami’ Ash-Shaghir, hadits nomor 11531/372). 

Penulis : Al Faqier ilallah Bin Ateh

1 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda