KEDUDUKAN AL 'ULAMA
Muqoddimah
Melihat berbagai persoalan yang dihadapi oleh ummat manusia, mengingatkan kita untuk kembali mentelaah semuanya dengan kacamata al Qur-an dan atau al Hadits Shohih, “apa yang seharusnya dilakukan?” Dimana Allah pasti tidak akan lagi menurunkan RasulNya seperti dalam al Qur-an Surah Al- Ahzab Ayat 40 yang menyatakan bahwa Nabi Muhammad sebagai Rasul terakhir dan penutup para Nabi. Selanjutnya ketika melihat al Qur-an Surah At-Taubah Ayat 33 dan al Hadits Shohih riwayat Muslim dari jalan Syadad bin Aus dan Tsauban yang pada intinya Allah menggambarkan bahwa pada akhir zaman pasti Dia tegakkan al Qur-an dan al Hadits Shohih sebagai Norma Hukum bagi seluruh ummat manusia dan semesta alam yang akhirnya manusia hanya terbagi menjadi dua golongan yaitu pertama mukmin yang dimuliakan Allah dan kafir yang dihinakan Allah. Maka yang menjadi pokok pertanyaan kita adalah, “siapa dan bagaimana menyongsong janji tersebut?”
Allah SWT memberikan isyarat petunjuk dalam al Qur-an Surah Ash-Shof Ayat 14 dimana pada Ayat tersebut ada beberapa pokok penjelasan yaitu, pertama Nabi Isa Ibnu Maryam berkata “Siapakah penolong-penolongku kepada Allah” kalimat ini memberikan pengertian bahwa setelah para Rasul dan Nabi tidak diutus lagi dan hanya al Qur-an dan al Hadits Shohih sebagai bekalan, maka yang wajib bergerak untuk menjemput janjiNya adalah Al'Ulama dan Anshorullah.Dalam hal ini dijelaskan dalam al Qur-an Surah Fathir Ayat 28 dan al Qur-an Surah Asy-Syuro Ayat 13 Al ulama bekerja memandu dan menyeru ummat. Yang kedua ummat Islam secara umum bergerak menyambut seruan tersebut sebagai anshorullah. Sebagaimana sambutan hawariy kepada rasulullah Isa ,”Kami penolong diinullah”. Inilah yang disebut Muttabi atau pengikut setia Rasulullah yang siap menjadi Anshorullah, yang mereka ini harus mampu memenuhi apa yang disyaratkan Allah dalam Surah Al-Kahfi Ayat 28 dan 29 dimana disebutkan harus memiliki sikap teguh pendirian atau istiqomah dalam pola berjamaah dan pada al Qur-an Surah Al-Anfal Ayat 20 yaitu melakukan tansiq untuk menyatukan hati orang-orang yang beriman dalam suatu tandhim yang tertata dengan rapi.
Kedua golongan inilah yaitu Al'Ulama dan Hawariy yang siap menjemput janji Allah akan keberlakuan HukumNya di muka bumi yang dilakui siang dan malam sampai akhir zaman.
Pokok Kajian
Sesungguhnya Allah telah memberikan petunjuk berupa gambaran dari satu sikap hamba Allah yang tidak terlena oleh berbagai permasalahan yang berkaitan dengan gejolak kehidupan duniawiyah, sebagaimana digambarkan dalam Surah An-Nur Ayat 37, yaitu :
“Para lelaki yang tidak dapat terlalaikan mereka itu oleh perniagaan dan jual beli terhadap mengingati Allah, dan mendirikan sholat dan membayarkan zakat (lantaran) mereka takut akan suatu hari (dimana) terjadi goncang pada waktu itu, hati dan pandangan"
Ayat tersebut bila dihubungkan dengan ayat sebelum dan sesudahnya, sangat jelas menggambarkan tentang sikap "Al'Ulama" yang senantiasa berupaya menepati tugas dan tanggung jawabnya dalam menjunjung tinggi Kalimatullah. Oleh karena itu, maka Rasulullah menjelaskan dalam haditsnya mengenai dua macam kedudukan Al 'Ulama. Pertama, 'Ulama itu adalah pemegang amanah Allah atas makhluqNya yang menjelaskan al Qur-an Surah Fathir Ayat 28. Kedua, Al 'Ulama sebagai pemegang amanah para Rasul dengan dalil Surah Asy-Syuro Ayat 13. Sehingga dengan kedudukan ini Al 'Ulama akan senantiasa berupaya untuk mematuhi dan menepati batasan-batasan yang telah ditetapkan oleh Rasulullah.
Pembahasan
Bahwa sebenarnya "Al'Ulama" adalah hamba Allah yang faqir, artinya senantiasa berharap keridhoan Allah dalam segala kiprah hidupnya untuk menepati pengabdiannya. Berarti kepribadiannya sudah harus terukur, sebagaimana dijelaskan dalam Surah At-Taubah Ayat 24, bahwa mereka itu “cinta kepada Allah, RasulNya dan Jihad di jalanNya diatas segalanya”. Inilah tatanan kepribadian utama yang membuat Al'Ulama disebut Al'Arif dan Al'Khowasy. Kemudian hal ini memunculkan sikap ketulusan hati dalam ketha'atan, sehingga berupaya sekuat mungkin menepati perintah Allah dengan tidak akan pernah mencampur-adukkan antara yang haq dengan yang bathil. Sikap inilah yang dicantumkan Allah di dalam Surah Al-Baqoroh Ayat 42.
“Dan janganlah mencampur-adukkan al haq dengan yang bathil, dan kamu
menyembunyikan al haq sedangkan kamu mengetahui”
Muatan makna dari ayat ini antara lain:
A. Al'Ulama dituntut kemampuannya dalam memahami beberapa batasan dari Allah, antara lain adalah ketetapan Allah untuk memiliki "hija-ban mastu-ro" (dinding pembatas atau pembeda) yang dinyatakanNya dalam Surah Al-Isro Ayat 45. Maka dengan itu akan berkemampuan menjelaskan berbagai perbedaan sifat (antagonistic) antara dinul Islam- dari dan milik Allah, dengan system hidup buatan manusia. Diantaranya perbedaan antara Asy-Syiyasah dengan Politik yang merupakan produk fikiran manusia.
B. Berdasarkan Surah Al-Anfal Ayat 24 bahwa dituntut kemampuannya dalam mewaspadai diri, terhadap keberadaan potensi nafsu dan al`aqlu, yang antara keduanya ada pembatas. Nafsu adalah tempat atau intuisi yang sangat potensial bagi bisikan syaithon. Sedangkan al`aqlu adalah intuisi bagi suara wahyu. Artinya dalam menerima perintah dari al Qur-an harus menempatkannya dalam al`aqlu bukan dilandasi nafsu. Dengan adanya kontrol diri ini maka al 'Ulama akan dapat melakukan pengkondisian terhadap ummat Islam ke arah yang benar, agar mereka tidak terpengaruh oleh bisikan nafsu angkara murka yang dijelaskan Surah Yusuf Ayat 53. Maka dengan ini akan tampaklah bahwa sesungguhnya Islam itu mengutamakan cinta kasih terhadap ummat manusia, karena masalah manusia adalah topik utama dalam al Qur-an sebagaimana panduan dalil Surah Al-Maidah Ayat 32.
Manakala hal tersebut telah difahami, maka dengan berpedoman pada Kaidah Menejemen al Qur-an yang dijelaskan Surah Al-Furqon Ayat 52 serta wujud dari menejemen al Qur-an yang dijelaskan juga pada Surah Al-An'am Ayat 153, secara jelas al 'Ulama akan mampu memberikan jalan keluar kepada Ummat Islam ketika mereka dihadapkan dengan beberapa kenyataan, antara lain :
1. Dalam kehidupan global (ma-adina), dipastikan setiap Negara di dunia telah mengalami proses “integrasi” atau penyatuan dalam berbagai kebijakan yang menyangkut hajat hidup orang banyak.
2. Dalam hubungan antar bangsa secara pasti terjadi proses “interdependency”, yaitu terjadi saling ketergantungan dalam hal saling memberi dan menerima, antara lain dalam hal warna peradaban.
Mengatasi hal tersebut, jelas tidak mungkin bisa menemukan antisipasinya, selama para 'Ulama hanya berfikir sebatas “rumah tangganya”, - maksudnya sebatas negerinya masing-masing -red. Karena yang dihadapi Ummat Islam adalah sembilan aktor intellectual yang dimotori oleh "system Mafia" yang dijelaskan oleh Allah pada Surah An-Namj Ayat 48 dan 49; Padahal kesemuanya permasalahan itu tanggung jawabnya telah Allah dan RasulNya tetapkan kepada "Al'Ulama". Disatu sisi Allah telah berjanji akan kemenangan Islam di Akhir zaman yang mesti disongsong sebagaimana ditetapkanNya dalam al Qur-an Surah At-Taubah Ayat 33.-
Oleh karena itu dengan adanya perintah Allah yang ditujukan kepada para 'Ulama dimana mereka dituntut kesiapannya untuk melakukan "Ittifa-qul 'Ulama” sebagaimana tersebut dalam al Qur-an Surah Al-Baqoroh Ayat 208 dengan istilah lain “kesepakatan 'Ulama”, yang diprakarsai Dewan Perancang dan Panitia Pelaksana atau anshorullah menurut al Qur-an Surah Ash-Shof Ayat 14 dengan melalui proses "Mudzakarah 'Ulama".- InsyaAllah.
<< Beranda