MUDZAKARAH ULAMA

ومن الناس والدّواب والانعم مختلفٌ الونه كذلك انما يخشى الله من عباده العلماء انّ الله عزيزٌ غفورٌ ـ

Rabu, 10 Juni 2009

Titik Temu Antara Ilmuwan dan al Ulama

Sering kita jumpai pertanyaan dari beberapa orang yang ingin mengetahui apa perbedaan dan persamaan makna dari istilah Ilmuwan dengan Ulama. Apakah Ilmuwan hanya sebutan khusus untuk para ahli ilmu alam (eksakta) sedangkan Ulama sebutan untuk para ahli Ilmu Agama (baca:Dinul Islam)? Apakah telah terjadi berbagai pergeseran atau penyempitan makna, sehingga terjadi dikotomi keduanya? Adapula yang menganggap bahwa al ulama hanyalah orang-orang yang hanya mengurusi rutinitas ibadah pokok (makhdo) dalam rukun Islam dengan menafikan masalah lainya. Sehingga mereka menganggap para ulama tidak punya ilmu dan kemampuan dalam mengentaskan masalah pembangunan peradaban dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.Bukankah dimensi ibadah itu tidak hanya terbatas masalah rukun Islam yang lima perkara saja.

Untuk mencari kejelasannya, berikut ini kami ulas permasalahannya. Mudah-mudahan dapat membantu kita menyibak makna yang sebenarnya. Kita mencoba dengan menggali akar katanya, lalu menelusuri darimana munculnya.

1. Definsi Ilmuwan

Definisi Ilmuwan ialah orang yang bekerja dan mendalami dengan tekun dan sungguh-sungguh dalam bidang ilmu pengetahuan. Para ilmuwan bisa bekerja dalam bidang ilmu pengetahuan yang berbeda. Di sini diberikan beberapa contoh: Mereka yang belajar fisika ialah fisikawan. Yang belajar kimia ialah kimiawan. Yang belajar biologi ialah biolog. (sumber: id.wiktionary.org).

Dari definsi di atas jelas bahwa arahnya hanya kepada para ahli ilmu alam (eksakta) yang merupakan ayat kauniyah Allah. Akar kata ilmuwan dari dua suku kata Ilmu (serapan dari bahasa Arab) yang sudah mengindonesia, lalu ditambah dengan akhiran –wan yang menunjukkan penegasan sifat awalannya. Sebagai contoh pembanding, yaitu kata dermawan yang artinya orang yang suka menderma, membantu dengan harta atau bersifat sosial. Lantas, siapakah yang mempopulerkannya dan kapan munculnya istilah ilmuwan, wallahu’alam- secara jelas belum kami temui penjelasannya. Namun yang jelas kosa kata ini sudah menjadi kata baku dalam bahasa Indonesia.

2. Definisi Ulama

Secara bahasa, ulama berasal dari kata kerja dasar ‘alima (telah mengetahui); berubah menjadi kata benda pelaku ‘alimun (orang yang mengetahui - mufrad/singular) dan ulama (jamak taksir/irregular plural). Berdasarkan istilah, pengertian ulama dapat dirujuk pada al-Quran dan hadis. Yang sangat masyhur dalam hal ini adalah : انما يخشى الله من عباده العلماء (sesungguhnya yang paling takut kepada Allah diantara hambaNya adalah ulama- Qs.Fathir 28).

Nash yang jelas tentang lafadz al Ulama dalam al Quran di atas adalah berbentuk ism makrifat (khusus-dapat dikenali secara jelas) bukan berbentuk umum (ism nakirah), yaitu ulama. Artinya al Ulama adalah hamba Allah yang takut melanggar perintah Allah dan takut melalaikan perintahNya dikarenakan dengan ilmunya ia sangat mengenal Keagungan Allah. Ia bertahuid (mengesakan) Allah dalam rububiyah, uluhiyah dan asma wa sifat. Mereka sangat berhati-hati dalam ucapan dan tindakan karena memiliki sifat wara, khowasy dan ’arif. Dalam sebuah hadits riwayat Muslim bersumber dari Anas yang membayankan atau menjelaskan terhadap al Qur-an Surah Fathir ayat 28 di atas dinyatakan bahwa :

العلماء اُمناء الله على خلقهِ
("al ‘Ulama adalah pemegang amanah Allah atas makhluqnya”).

Jelas bahwa kata al Ulama bukan sekedar istilah dan kedudukan sosial buatan manusia. Bukan pula orang yang didudukan di lembaga bentukan pemerintahan sekular dengan subsidi dana. Namun kosa kata al Ulama berasal dari Kalamullah dan memiliki arti dan kedudukan sangat terhormat disisi Robb. Hanya Allah yang mengetahui hakikat sebenarnya siapa dari hambaNya yang termasuk kategori al Ulama. Maka tidak berhak seseorang memproklamirkan dirinya sebagai al Ulama.

Secara tersirat kata rusul (ism nakirah) dapat berarti Rosulullah dan bisa pula al Ulama. Sedangkan arrusul (ism makrifat) artinya khusus ditujukan kepada Rosulullah. Berarti al Ulama memiliki tanggung jawab besar berupa amanah risalah yang telah dibawa para rasul untuk dijaga kemurniaannya, didakwahkan dan diamalkan. Kemudian ada juga satu lagi hadits dari sumber Anas, riwayat Muslim yang menyatakan :

العلماءُ امناء الرّسل مالن يٌخلط السلطانَ ودخل الدنياَ اذا خلط السلطان ودخل الدنيا فقد خان الرسل فاهذروهُ

(Al ‘Ulama pemegang amanah para rosul, selama ia tidak menggauli penguasa atau ambisi kekuasaan, dan tidak cinta berat terhadap dunia atau materialis, jika ia menjilat penguasa atau ambisi kekuasaan, dan cinta berat terhadap dunia atau materialis maka sungguh ia telah menghianati para rosul, maka berhati-hatilah kepadanya”).

Hadits ini menjelaskan al Qur-an Surah Assyura ayat 13 :

شرع لكم من الدين ما وصى به نوحآ والذي اوحينا اِليك وما وصّينا به ابراهيم وموسى وعيسى انْ اقيموا الدّين ولا تتفرّقوا فيه كبر على المشركين ما تدعوهم اليهِ الله يجتبى اليه من يشاء ويهدى من ينيب ـ


“Disyariatkan atas kamu ad Din, (yaitu) apa yang Kami wasiatkan dengannya kepada Nuh, dan apa-apa yang Kami wahyukan kepadamu (Muhammad), dan apa-apa yang Kami wasiatkan dengannya kepada Ibrahim dan Musa dan Isa, bahwa tegakkanlah ad Din dan janganlah berpecah-belah didalamnya. Berat rasanya bagi orang-orang musyrik seruan kamu atas mereka, Allah menetapkan dengan seruan itu siapa yang dikehendakiNya, dan menunjuki dengannya orang-orang yang kembali (bertaubat)”.

Sedangkan hadits yang berbunyi :

العلماءُ ورثُ الانبياءَ

(al 'ulama adalah pewaris para nabi).

Kedudukan matan atau isi hadits ini lemah (dhoif) sehingga tidak boleh dijadikan hujjah, karena masalah kenabian tidaklah diwariskan. Menurut Rosulullah, ulama itu ada yang asshoghir dan akaabir. Tercermin dalam hadits beliau : “ma yadzalun nafsu bi khoiri ma ahadul ilma ‘inda akaabir (senantiasalah ummat ini dalam kebaikan sepajang mereka mengambil ilmu dari akaabir).

Untuk memahami makna Ulama akaabir dan ulama asshoghir dengan memahami suatu kaidah ushul. Sesuatu hal itu lebih dikenal jika diketahui lawannya. Contoh kita tidak tahu persis arti kata ‘adil jika tidak tahu arti dholim. Juga arti makruf dari lawannya munkar. Secara etimologis akaabir artinya orang besar (penggede) dan asshoghir artinya (orang kecil). Namun secara ilmu tafsir bermakna lain. Diambil dari sebuah hadits, nabi SAW:

“Min assyirothi sa-ah ayyu tsamatsalil ilmu ‘inda asshoghir” (antara lain sebagai prolog /muqadimah datangnya hari qiyamat diambang pintu, yaitu orang mengambil ilmu dari ashoghir). Mufasir berpendapat ashoqir hum ahlul bid’ah (asshoqir adalah ahli bid’ah). Mereka ulama tapi bergelimang dengan bid’ah (mengada-ada dalam perkara Din).

Ciri lain seorang al ulama adalah memiliki kepekaan terhadap penderitaan ummat lalu mengupayakan jalan keluarnya (Qs.9:128). Ia umumnya dibangkitkan Allah di tengah-tengah qoum yang ummi (buta huruf, masyarakat biasa/kecil : Qs.62:2).

Kesimpulan

Al Ulama adalah kedudukan mulia dari Allah kepada hamba pilihan yang memahami ayat-ayat Allah berupa Ilmu kauniyah yang dibentangkan Allah di alam semesta dan Ilmu Syariah yang tertulis dalam kitabNya. Maka untuk mendapatkan definisi yang benar harus dikembalikan yang membuat istilah al Ulama (dalam hal ini Allah). Sedangkan Ilmuwan istilah yang muncul di masa mutaakhir, maka harus dikembalikan kepada pembuatnya (manusia). Dengan mencoba memahami sumber asal yang benar, insyaAllah akan menghasilkan keluaran yang benar pula.

Untuk lebih jelasnya coba perhatikan kembali dalilnya sebagai berikut:
1. Dalam Qs. 35:27-28 dan al Hadits yang menjelaskannya, diperoleh ciri dari al Ulama, yaitu yang memahami Ilmu Alam Semesta. Selain itu rasa takutnya kepada Allah sebagai faktor utama keulamaan. Ia dapat mencapai derajat demikian dikarenakan pengenalannya kepada Allah melalui ilmu sehingga muncul sifat dan perilaku taqwa.
2. Dalam Qs. 42:13 dan al Hadits yang menjelaskannya, diperoleh makna bahwa Ulama adalah yang memahami Ilmu Syariat Dinullah.
3. Dari al hadits menyatakan Ulama terbagi dua, yaitu akaabir (ahlul sunnah) dan asshoqir (ahlul bid’ah).
4. Dalam Qs.62: 2, Ulama dibangkitkan Allah ditengah-tengah qoum yang ummi (buta alqur-an; masyarakat biasa/kecil), bukan orang yang sengaja hijrah ke kota besar untuk sekadar menyibukkan berceramah memenuhi panggilan tanpa bisa memprogram ummat.
5. Dalam Qs.9: 128, al Ulama memiliki kepekaan, kepedulian terhadap penderitaan ummat serta mampu memberikan solusi yang tepat atas dasar sunnah.
6. Dalam Qs. 24 : 37, al ulama adalah lelaki yang mengutakan zikrullah (mendakwahkan Islam) diatas urusan bisnis dan pekerjaan pribadi demi mendapatkan keridhoanNya.
7. Dalam Qs. 2 : 207-208, al ulama bercirikan pribadi-pribadi tangguh yang telah melakukan transaksi kepada Allah atas dirinya secara lahir-bathin serta hartanya. Kemudian berupaya untuk mengamalkan Dinul Islam secara kaffah dengan mengajak para ulama sedunia membangun kesepakatan dan kerjasama menuju hal itu. Ia bukanlah orang yang menjual Islam untuk kepentingan pribadi berupa materi, pujian, dan kedudukan.

Seorang ‘ilmuwan’ dapat masuk dalam golongan al ulama selama memilki aqidah tauhid yang lurus dan beramal sholeh dengan ilmu yang dibukakan Allah untuknya. Bahkan diantara para Nabi dan Rosulullah selain menyeru ummatnya kepada tauhid, merekapun dibekali Allah dengan ilmu 'alam dan teknologi. Beberapa contohnya dari golongan Nabi dan Rosul antara lain pada Nabi Sholih, as., seorang ahli arsitektur bangunan yang kemudian diangkat Allah sebagai rosulNya untuk qoum Tsamud. Lalu Rosulullah Sulaiman, as., dengan istana megahnya dengan taman kaca, serta Nabi Dzulkarnain dengan tembok raksasanya. Kemudian dari kalangan sahabat Rosulullah Muhammad, SAW., kita mengenal Umar bin Khottob seorang ahli ilmu falaq yang mempelopori pembuatan almanak Qomariyah (Hijriyah). Ada pula dari kalangan ulama tempo dulu seperti Ibnu Sina, seorang ‘alim yang juga ahli dalam kedokteran dan sebagainya.

Adapun manusia yang hanya faham dan ahli mengenai ilmu eksakta (alam) tapi jahil mengenai al Quran, maka bukanlah termasuk al ulama. Bisa jadi ia hanyalah ilmuwan, cendikia atau intelektual dari golongan orang-orang kafir atau penganut sekularisme (munafiq), dan dari golongan moderat (muqtasidah) yang selalu mengambil jalan yang aman. Para penganut faham moderat ini, umumnya orang yang memiliki kedudukan di tengah masyarakat umum (kafir dan mukmin) sehingga takut menanggung resiko ujian dan hilang kedudukan apabila menyatakan dirinya muslim yang kaffah. Sebaliknya seorang ulama bisa jadi ia memahami ilmu ‘alam, eksakta (ilmuwan) sekaligus faham ilmu syariat dinullah, atau salah satunya saja, namun beraqidah lurus dan beramal sholih.

Maka, titik temu antara Ilmuwan dengan al Ulama berpangkal pada masalah aqidah yang benar sebagai syarat pokok keulamaan. Ulama dan Ilmuwan bisa jadi satu kesatuan, dan ulama jelas bukan orang bodoh yang tidak faham urusan duniawiyah. Ilmu yang mereka miliki hanyalah sebagai jalan untuk mengenal Allah dan mendapat ridhoNya, bukan ilmu pengetahuan sebagai tujuan akhir hidupnya. Kemudian dengan ilmunya ia mengajak manusia bertauhid kepada Allah subhanahuwata'ala bukan dengan ilmunya menyesatkan dirinya dan ummat, naudzubillah min dzalik. Wallahu’alam. (bid.data&publikasi)

Kamis, 04 Juni 2009

Titik Temu Antara Ilmuwan dan al Ulama

Sering kita jumpai pertanyaan dari beberapa orang yang ingin mengetahui apa perbedaan dan persamaan makna dari istilah Ilmuwan dengan Ulama. Apakah Ilmuwan hanya sebutan khusus untuk para ahli ilmu alam (eksakta) sedangkan Ulama sebutan untuk para ahli Ilmu Agama (baca:Dinul Islam)? Apakah telah terjadi berbagai pergeseran atau penyempitan makna, sehingga terjadi dikotomi keduanya? Adapula yang menganggap bahwa al ulama hanyalah orang-orang yang hanya mengurusi rutinitas ibadah pokok (makhdo) dalam rukun Islam dengan menafikan masalah lainya. Sehingga mereka menganggap para ulama tidak punya ilmu dan kemampuan dalam mengentaskan masalah pembangunan peradaban dan perkembangan iptek.Bukankah dimensi ibadah itu tidak hanya terbatas masalah rukun Islam yang lima perkara saja.

Untuk mencari kejelasannya, berikut ini kami ulas permasalahannya. Mudah-mudahan dapat membantu kita menyibak makna yang sebenarnya. Kita mencoba dengan menggali akar katanya, lalu menelusuri darimana munculnya.

1. Definsi Ilmuwan

Definisi Ilmuwan ialah orang yang bekerja dan mendalami dengan tekun dan sungguh-sungguh dalam bidang ilmu pengetahuan. Para ilmuwan bisa bekerja dalam bidang ilmu pengetahuan yang berbeda. Di sini diberikan beberapa contoh: Mereka yang belajar fisika ialah fisikawan. Yang belajar kimia ialah kimiawan. Yang belajar biologi ialah biolog. (sumber: id.wiktionary.org).

Dari definsi di atas jelas bahwa arahnya hanya kepada para ahli ilmu alam (eksakta) yang merupakan ayat kauniyah Allah. Akar kata ilmuwan dari dua suku kata Ilmu (serapan dari bahasa Arab) yang sudah mengindonesia, lalu ditambah dengan akhiran –wan yang menunjukkan penegasan sifat awalannya. Sebagai contoh pembanding, yaitu kata dermawan yang artinya orang yang suka berderma, membantu dengan harta atau bersifat sosial. Lantas, siapakah yang mempopulerkannya dan kapan munculnya istilah ilmuwan, wallahu’alam- secara jelas belum kami temui penjelasannya. Namun yang jelas kosa kata ini sudah menjadi kata baku dalam bahasa Indonesia.

2. Definisi Ulama

Secara bahasa, ulama berasal dari kata kerja dasar ‘alima (telah mengetahui); berubah menjadi kata benda pelaku ‘alimun (orang yang mengetahui - mufrad/singular) dan ulama (jamak taksir/irregular plural). Berdasarkan istilah, pengertian ulama dapat dirujuk pada al-Quran dan hadis. Yang sangat masyhur dalam hal ini adalah : انما يخشى الله من عباده العلماء (sesungguhnya yang paling takut kepada Allah diantara hambaNya adalah ulama- Qs.Fathir 28).

Nash yang jelas tentang lafadz al Ulama dalam al Quran di atas adalah berbentuk ism makrifat (khusus-dapat dikenali secara jelas) bukan berbentuk umum (ism nakirah), yaitu ulama. Artinya al Ulama adalah hamba Allah yang takut melanggar perintah Allah dan takut melalaikan perintahNya dikarenakan dengan ilmunya ia sangat mengenal keagungan Allah. Ia bertahuid (mengesakan) Allah dalam rububiyah, uluhiyah dan asma wa sifat. Mereka sangat berhati-hati dalam ucapan dan tindakan karena memiliki sifat wara, khowasy dan ’arif. Dalam sebuah hadits riwayat Muslim bersumber dari Anas yang membayankan atau menjelaskan terhadap al Qur-an Surah Fathir ayat 28 di atas dinyatakan bahwa :

العلماء اُمناء الله على خلقهِ
("al ‘Ulama adalah pemegang amanah Allah atas makhluqnya”).

Jelas bahwa kata al Ulama bukan sekedar istilah dan kedudukan sosial buatan manusia. Bukan pula orang yang didudukan di lembaga bentukan pemerintahan sekular dengan subsidi dana. Namun kosa kata al Ulama berasal dari Kalamullah dan memiliki arti dan kedudukan sangat terhormat disisi Rabb. Hanya Allah yang mengetahui hakikat sebenarnya siapa dari hambaNya yang termasuk kategori al Ulama. Maka tidak berhak seseorang memproklamirkan dirinya sebagai al Ulama.

Secara tersirat kata rusul (ism nakirah) dapat berarti Rosulullah dan bisa pula al Ulama. Sedangkan arrusul (ism makrifat) artinya khusus ditujukan kepada Rosulullah. Berarti al Ulama memiliki tanggung jawab besar berupa amanah risalah yang telah dibawa para rasul untuk dijaga kemurniaannya, didakwahkan dan diamalkan. Kemudian ada juga satu lagi hadits dari sumber Anas, riwayat Muslim yang menyatakan :

العلماءُ امناء الرّسل مالن يٌخلط السلطانَ ودخل الدنياَ اذا خلط السلطان ودخل الدنيا فقد خان الرسل فاهذروهُ

(Al ‘Ulama pemegang amanah para rosul, selama ia tidak menggauli penguasa / ambisi kekuasaan, dan tidak cinta berat terhadap dunia / materialis, jika ia menjilat penguasa / ambisi kekuasaan, dan cinta berat terhadap dunia / materialis maka sungguh ia telah menghianati para rosul, maka berhati-hatilah kepadanya”).

Hadits ini menjelaskan al Qur-an Surah Assyura ayat 13 :

شرع لكم من الدين ما وصى به نوحآ والذي اوحينا اِليك وما وصّينا به ابراهيم وموسى وعيسى انْ اقيموا الدّين ولا تتفرّقوا فيه كبر على المشركين ما تدعوهم اليهِ الله يجتبى اليه من يشاء ويهدى من ينيب ـ


“Disyariatkan atas kamu ad Din, (yaitu) apa yang Kami wasiatkan dengannya kepada Nuh, dan apa-apa yang Kami wahyukan kepadamu (Muhammad), dan apa-apa yang Kami wasiatkan dengannya kepada Ibrahim dan Musa dan Isa, bahwa tegakkanlah ad Din dan janganlah berpecah-belah didalamnya. Berat rasanya bagi orang-orang musyrik seruan kamu atas mereka, Allah menetapkan dengan seruan itu siapa yang dikehendakiNya, dan menunjuki dengannya orang-orang yang kembali (bertaubat)”.

Sedangkan hadits yang berbunyi :

العلماءُ ورثُ الانبياءَ

(al 'ulama adalah pewaris para nabi).

Kedudukan matan atau isi hadits ini lemah (dhoif) sehingga tidak boleh dijadikan hujjah, karena masalah kenabian tidaklah diwariskan. Menurut Rosulullah, ulama itu ada yang asshoghir dan akaabir. Tercermin dalam hadits beliau : “ma yadzalun nafsu bi khoiri ma ahadul ilma ‘inda akaabir (senantiasalah ummat ini dalam kebaikan sepajang mereka mengambil ilmu dari akaabir).

Untuk memahami makna Ulama akaabir dan ulama ashoqir dengan memahami suatu kaidah ushul. Sesuatu hal itu lebih dikenal jika diketahui lawannya. Contoh kita tidak tahu persis arti kata ‘adil jika tidak tahu arti dholim. Juga arti makruf dari lawannya munkar. Secara etimologis akaabir artinya orang besar (penggede) dan ashoqhir artinya (orang kecil). Namun secara ilmu tafsir bermakna lain. Diambil dari sebuah hadits, nabi SAW:

“Min assyirothi sa-ah ayyu tsamatsalil ilmu ‘inda asshoghir” (antara lain sebagai prolog /muqadimah datangnya hari qiyamat diambang pintu, yaitu orang mengambil ilmu dari ashoghir). Mufasir berpendapat ashoqir hum ahlul bid’ah (asshoqir adalah ahli bid’ah). Mereka ulama tapi bergelimang dengan bid’ah (mengada-ada dalam perkara Din).

Ciri lain seorang al ulama adalah memiliki kepekaan terhadap penderitaan ummat lalu mengupayakan jalan keluarnya (Qs.9:128). Ia umumnya dibangkitkan Allah di tengah-tengah qoum yang ummi (buta huruf, masyarakat biasa/kecil : Qs.62:2).

Kesimpulan

Al Ulama adalah kedudukan mulia dari Allah kepada hamba pilihan yang memahami ayat-ayat Allah berupa Ilmu kauniyah yang dibentangkan Allah di alam semesta dan Ilmu Syariah yang tertulis dalam kitabNya. Maka untuk mendapatkan definisi yang benar harus dikembalikan yang membuat istilah al Ulama (dalam hal ini Allah). Sedangkan Ilmuwan istilah yang muncul di masa mutaakhir, maka harus dikembalikan kepada pembuatnya (manusia). Dengan mencoba memahami sumber asal yang benar, insyaAllah akan menghasilkan keluaran yang benar pula.

Untuk lebih jelasnya coba perhatikan kembali dalilnya sebagai berikut:
1. Dalam Qs. 35:27-28 dan al Hadits yang menjelaskannya, diperoleh ciri dari al Ulama, yaitu yang memahami Ilmu Alam Semesta. Selain itu rasa takutnya kepada Allah sebagai faktor utama keulamaan. Ia dapat mencapai derajat demikian dikarenakan pengenalannya kepada Allah melalui ilmu sehingga muncul sifat dan perilaku taqwa.
2. Dalam Qs. 42:13 dan al Hadits yang menjelaskannya, diperoleh makna bahwa Ulama adalah yang memahami Ilmu Syariat Dinullah.
3. Dari al hadits menyatakan Ulama terbagi dua, yaitu akaabir (ahlul sunnah) dan asshoqir (ahlul bid’ah).
4. Dalam Qs.62: 2, Ulama dibangkitkan Allah ditengah-tengah qoum yang ummi (buta alqur-an; masyarakat biasa/kecil), bukan orang yang sengaja hijrah ke kota besar untuk sekadar menyibukkan berceramah memenuhi panggilan tanpa bisa memprogram ummat.
5. Dalam Qs.9: 128, al Ulama memiliki kepekaan, kepedulian terhadap penderitaan ummat serta mampu memberikan solusi yang tepat atas dasar sunnah.
6. Dalam Qs. 24 : 37, al ulama adalah lelaki yang mengutakan zikrullah (mendakwahkan Islam) diatas urusan bisnis dan pekerjaan pribadi demi mendapatkan keridhoanNya.
7. Dalam Qs. 2 : 207-208, al ulama bercirikan pribadi-pribadi tangguh yang telah melakukan transaksi kepada Allah atas dirinya secara lahir-bathin serta hartanya. Kemudian berupaya untuk mengamalkan Dinul Islam secara kaffah dengan mengajak para ulama sedunia membangun kesepakatan dan kerjasama menuju hal itu. Ia bukanlah orang yang menjual Islam untuk kepentingan pribadi berupa materi, pujian, dan kedudukan.

Seorang ‘ilmuwan’ dapat masuk dalam golongan al ulama selama memilki aqidah tauhid yang lurus dan beramal sholeh dengan ilmu yang dibukakan Allah untuknya. Bahkan diantara para Nabi dan Rosulullah selain menyeru ummatnya kepada tauhid, merekapun dibekali Allah dengan ilmu 'alam dan teknologi. Beberapa contohnya dari golongan Nabi dan Rosul antara lain pada Nabi Sholih, as., seorang ahli arsitektur bangunan yang kemudian diangkat Allah sebagai rosulNya untuk qoum Tsamud. Lalu Rosulullah Sulaiman, as., dengan istana megahnya dengan taman kaca, serta Nabi Dzulkarnain dengan tembok raksasanya. Kemudian dari kalangan sahabat Rosulullah Muhammad, SAW., kita mengenal Umar bin Khottob seorang ahli ilmu falaq yang mempelopori pembuatan almanak Qomariyah (Hijriyah). Ada pula dari kalangan ulama tempo dulu seperti Ibnu Sina, seorang ‘alim yang juga ahli dalam kedokteran dan sebagainya.

Adapun manusia yang hanya faham dan ahli mengenai ilmu eksakta (alam) tapi jahil mengenai al Quran, maka bukanlah termasuk al ulama. Bisa jadi ia hanyalah ilmuwan, cendikia atau intelektual dari golongan orang-orang kafir atau penganut sekularisme (munafiq), dan dari golongan moderat (muqtasidah) yang selalu mengambil jalan yang aman. Para penganut faham moderat ini, umumnya orang yang memiliki kedudukan di tengah masyarakat umum (kafir dan mukmin) sehingga takut menanggung resiko ujian dan hilang kedudukan apabila menyatakan dirinya muslim yang kaffah. Sebaliknya seorang ulama bisa jadi ia memahami ilmu ‘alam, eksakta (ilmuwan) sekaligus faham ilmu syariat dinullah, atau salah satunya saja, namun beraqidah lurus dan beramal sholih.

Maka, titik temu antara Ilmuwan dengan al Ulama berpangkal pada masalah aqidah yang benar sebagai syarat pokok keulamaan. Ulama dan Ilmuwan bisa jadi satu kesatuan, dan ulama jelas bukan orang bodoh yang tidak faham urusan duniawiyah. Ilmu yang mereka miliki hanyalah sebagai jalan untuk mengenal Allah dan mendapat ridhoNya, bukan ilmu pengetahuan sebagai tujuan akhir hidupnya. Kemudian dengan ilmunya ia mengajak manusia bertauhid kepada Allah subhanahuwata'ala bukan dengan ilmunya menyesatkan dirinya dan ummat, naudzubillah min dzalik. Wallahu’alam. (bid.data&publikasi)