Sesungguhnya Fir'aun telah berbuat
sewenang-wenang di muka bumi dan menjadikan penduduknya berpecah belah, dengan
menindas segolongan dari mereka, menyembelih anak laki-laki mereka dan
membiarkan hidup anak-anak perempuan mereka.
Sesungguhnya Fir'aun termasuk orang-orang yang berbuat kerusakan.
Dan Kami hendak memberi
karunia kepada orang-orang yang tertindas di bumi (Mesir) itu dan hendak
menjadikan mereka pemimpin dan menjadikan mereka orang-orang yang mewarisi
(bumi). (Qs.28:4-5)
Fir’aunisme
Fir'aun (Arab: فرعون Firʻawn; bahasa Ibrani: פַּרְעֹה, paroh; bahasa Inggris: Pharaoh) adalah gelar yang dalam
diskusi dunia modern digunakan untuk seluruh penguasa Mesir kuno dari semua
periode. Dahulu, gelar ini mulai digunakan untuk penguasa yang merupakan
pemimpin keagamaan dan politik kesatuan Mesir kuno, hanya selama Kerajaan Baru,
secara spesifik, selama pertengahan dinasti kedelapanbelas. Untuk
penyederhanaan, terdapat kesepakatan umum di antara penulis modern untuk
menggunakan istilah ini untuk merujuk penguasa Mesir semua periode. Firaun juga
mengaku sebagai Tuhan.
Ketika wafat,
Firaun dimakamkan bersama harta bendanya di makam berhias tulisan hieroglif,
jenasahnya diawetkan dengan ramuan khusus, minyak dan garam, kemudian dibungkus
dengan kain kedap udara yang diikat. Karena Firaun dianggap sebagai wakil
bangsa Mesir dihadapan para dewa, kedamaiannya di dalam kehidupan di alam baka
merupakan harapan semua anggota masyarakat.
Etimologi
Firaun diyakini
berasal dari kata Ibrani Paroh. Kata Ibrani aslinya berasal dari bahasa Mesir
Pr-Aa yang artinya adalah "Rumah Besar". Pertama-pertama ini adalah
istilah untuk istana kerajaan, tetapi lama-lama artinya adalah penghuni istana
ini, yaitu sang raja.
Gelar firaun
Asal mula gelar
Firaun terjadi pada masa awal-awal perkembangan masyarakat lembah Sungai Nil
yang sangat subur yang bercorak pertanian. Untuk pengairan, masyarakat mesir
kuno pada awalnya mengandalkan musim banjir dan kemudian dilengkapi dengan
irigasi teknis pada masa-masa berikutnya. Karena tanah dan batas-batas tanah
sangat penting dalam struktur masyarakat mesir kuno saat itu, maka diangkatlah
tokoh masyarakat yang dihormati untuk mengatur batas-batas tanah dan segala hal
yang menyangkut tata kehidupan masyarakat. Tetua masyarakat itu diberi gelar
pharao (firaun) yang karena berkembangnya sistem kemasyarakatan dan negara,
Pharao ini diangkat menjadi raja yang pada masa itu sebagai pemimpin negara dan
pemimpin keagamaan.
Pada awal
perkembangannya, masyarakat Mesir kuno terbagi atas Mesir hulu dan Mesir hilir
yang memiliki firaun dan lambang mahkota sendiri sendiri. Raja Menes dari
Thebes akhirnya menyatukan kedua daerah menjadi satu kesatuan kekuasaan.
Mahkota yang digunakan adalah mahkota rangkap. 1)
Kisah fir’aun
cukup banyak dicantumkan dalam Al Quran, bahkan jasadnya diabadikan sebagai
bukti nyata orang – orang yang mendustakan Allah dan RasulNya. Dalam Al Quran
perbuatan firaun dinyatakan dalam lafadz – lafadz mudharaah, termasuk adanya
ism ka-na yang bermakna akan terjadi pengulangan sejarahnya pada tiap zaman
dengan tokoh yang berbeda sampai datangnya janji kemenangan Islam secara mutlaq
di akhir zaman (Qs.9 : 33). Artinya selama syariat Islam belum tegak pola
penjajahan dengan penuh kesombongan (fir’aunisme) akan terus muncul di berbagai
belahan bumi yang dihuni manusia.
Penjajahan orang
katholik dan protestan dari Eropa terhadap Muslimin di Indonesia serta bangsa –
bangsa lain di Asia dan Afrika sesungguhnya persis menggunakan system
Firaunisme. Hal ini dapat kita teliti secara jelas dari kandungan ayat – ayat
Al Quran. Umat Islam negeri ini cukup lama mengalami penjajahan secara fisik
(350 tahun totalnya) dan masih berlanjut hingga sekarang walau bukan secara
fisik (langsung).
Memahami secara kaidah bahasa dan tafsir dari
Firaunisme
Dari Qs.28 : 4,
dalam kalimat ‘ala fil ardi bermakna arogan atau sewenang – wenang
(menjajah) di muka bumi. Bentuk penjajahan fir’aun secara garis besar terdiri
dari 4 (empat) pola :
1.
Memecah
belah lalu menguasai (divide and rule system), lafadz syia-an bermakna
kelompok yang saling bertentangan.
2.
Politik
“Belah Bambu”, satu kelompok diangkat kelompok lainnya ditindas (indirect rule
system).
3.
Membunuh
karakter kepemimpinan laki – laki muslim (inferiority complex – kesadaran
kerendahan dirinya) dengan brain wash dan menjauhkan dari Panduan Wahyu.
4.
Menghidupkan
femisnisme yang menuntut emansipasi perempuan yang sebenarnya berupa
eksploitasi kaum perempuan (women exploitation).
Kenyataannya
keempat pola ini masih berlangsung hingga saat ini, maka Allah mengingatkan
bahwa kejadian ini sebagai “bala’ yang sangat besar” bagi manusia dan
kemanusiaan (Qs. 2 : 49). Namun jika umat mukmin mau berupaya (jihad)
melepaskan dari belengu penjajahan ini dengan dipandu oleh wahyu dan sunah
rasul serta menepati kesabaran serta keikhlasan maka Allah janjikan kemenangan
bagi kaum yang terjajah tersebut. Bahkan akan diangkat sebagai pemimpin –
pemimpin dunia dan diganti keadaan mereka menjadi aman dan mewarisi bumi ini.
(Qs. 28:5, 85).
Penerapan Fir’aunisme oleh Penjajah Ahli Kitab dan Musyrikin masa kini
Dalam Qs.
4:51-52, Allah telah memberitakan bahwa Ahli Kitab (Yahudi dan Nasrani) telah
beriman kepada Jibti (kesesatan) dan Thoqut (Syaiton, Berhala, dan segala yang
disembah selain Allah). At Thoqut (ism) adalah oknum pelakunya, Thoqo (fiil madhi) :
melampaui batas adalah sifat yang juga dinisbahkan kepada Fir’aun (Qs.79:17 & 89 : 11).
Contoh konkret dari 4 pola Firaunisme ini untuk mempertahankan dan
meluaskan tahta kekuasaan politik dunia adalah :
1.
Divide and rule system
Membuat maping (pemetaan) konflik horizontal
sehingga rakyat menjadi lemah dan tidak mengusik penguasa. Potensi konflik
tersebut meliputi aktivitas pembenturan agama, aliran kepercayaan, bangsa dan
etnik, peradaban, organisasi massa (NGO), tapal batas negara, dan banyak lagi. Intinya adalah mengadu domba
atau memecah belah lalu setelah lemah mereka dikuasai.
2.
Indirect rule system
Artinya Politik Belah Bambu, sebagian diinjak
sebagian lagi diangkat. Fihak pendukung kebijakan raja akan diangkat dan di
bela, sebaliknya fihak pembangkang atau oposisi akan ditindas. Orang beriman
dimusuhi sementara kafir dan munafiq dipelihara.
3.
Inferiority complex
Membunuh karakter kepemimpinan laki – laki muslim (– kesadaran
kerendahan dirinya) dengan brain wash dan menjauhkan dari Panduan Wahyu. Proyek ini dilakukan secara rapi melalui
sektor pendidikan yang memutuskan hubungan inteligensial (potensi otak) namun
menafikan faktor spiritual (agama). Akhirnya jadilah bangsa pemuja peradaban
non Islami dan malu dengan peradaban Islam.
4.
Women exploitation
Membiarkan hidup anak perempuan, bermakna pula
menghidupkan sifat keperempuanan. Perempuan dieksplotisasi sedang laki – laki
dipaksa menjadi perempuan. Maka secara massive gerakan LGBT disosialisasikan ke
seluruh dunia. Kodrat laki-laki dan perempuan hendak ditukarkan sehingga jika
dibiarkan akan mendatangkan bencana penyakit menular, penurunan jumlah manusia,
kemerosotan akhlaq, bahkan azab bencana alam.
Media televisi dan internet menjadi alat yang
efektif untuk iklan LGBT, dengan target generasi muda agar keberadaan manusia
yang kotor dan menyimpang ini dapat diterima sebagai bagian keragaman. Dalam banyak
kasus kaum LGBT dijadikan presenter acara televisi, tokoh masyarakat, aktor
komedi, tokoh film kartun anak, dan dalam buku – buku bacaan anak.
Strategi Dalam Al Quran dalam Menghadapi
Firaunisme
Dengan mengkaji sebagian dari makna Qs.28:5-14, sosok Rasulullah Musa dan
Harun ditetapkan Allah sebagai pemimpin bagi pembebasan mukminin dari
penjajahan Fir’aun. Maka untuk memunculkan Pemimpin Umat yang akan membuka
“dialog” sistem dan peradaban menghadapi Fir’aun Modern (Kaum Imperialis) perlu
langkah – langkah persiapan yang cerdas dan sungguh – sungguh. Tidak mungkin
pemimpin muncul tanpa tahapan yang dibenarkan Allah (Qs. 84:19). Mereka harus
diiktiyarkan semenjak belia dalam buaian sampai masa kematangan jiwa sehingga
diharapkan akan bertemu dengan kehendak Allah yang Maha berkehendak.
Pada masa belia, ada tiga perempuan yang berperan disekitar Musa sebagai
madrasah awal baginya. Ibu yang sholehah, kakak yang menjaga dan mengawasi
perkembangannya, dan Asiah yang mengasihi, merawat dan mendidiknya. Ketiga
fungsi inilah yang semestinya ada pada tiap mujahidah yang rindu kemenangan
Islam.
Selepas masa kanak – kanak, maka perlu peran ayah atau guru seperti Luqman
(Qs.31:13-19) dalam mentarbiyah generasi. Ada lima hal pokok dalam kurikulum
Luqman yaitu : Aqidah Tauhid, Akhlaqul Adhim, Ilmu Pengetahuan dan Teknologi,
Skill, dan Menegement Kemasyarakatan.
Asupan makanan yang halal dan thoyyib sangat berpengaruh pada ketaqwaan
manusia (Qs. 5:87-88; Qs.2:168 & 172). Untuk itulah orangtua perlu
memperhatikan sumber nafkah mereka.
Rasul ulil Azmi umumnya pernah menjadi pengembala (Ro’in) ternak dan juga
sebagai pengusaha. Secara psikologis profesi ini akan bermanfaat dalam
mengembalakan umat kelak. Dengan tongkatnya Nabi Musa menopang dirinya ketika
berjalan, menghalau ternak, mengumpulkan pucuk daun untuk pakan ternak
(kesejahteraan). Kemudian tongkat yang sama dikuatkan Allah dengan mukjizatNya
untuk menghadapi Fir’aun, membelah laut, mengeluarkan mata air dari dalam
batuan. Itulah sebagian amstal yang menjadi ittibar bagi orang-orang beriman.
Dengan pengalaman sebagai pengusaha Rasulullah Muhammad SAW memilki
kemampuan kemandirian ekonomi dan dikenal integritas dan kompetensinya sehingga
dakwah pertamapun masuk ke kalangan sahabat pengusaha. Kurikulum seperti inilah
yang mestinya ditumbuh kembangkan bagi generasi kita.
Perbaikan Umat Hanya melalui Dakwah dan Tarbiyah
Umat yang sudah terlanjur rusak dan dilemahkan oleh sistem, maka hanya
dapat diperbaiki dengan Dakwah dan Tarbiyah (Qs.3:164). Subtansi pokok yang
harus difahamkan adalah tujuan hidup hanya untuk beribadah kepada Allah (Qs.51:56
; 98:5) dan harus mempersiapkan diri menghadapi ujian susah dan senang
(Qs.67:2). Tidak dibenarkan berputus asa dari rahmat dan ampunan Allah. Allah
Maha Kuasa untuk merubah kondisi pendosa yang bertaubat menjadi hamba –hamba
yang bersih dan terpuji InshaAllah (Qs.39:17-18, 39:53, 12:87).
*) Materi Kuliyah Tarikh
Islam pada Ma’had Aqulu El Muqoffa, Komplek Yayasan AKUIS, Sumatera Selatan,
Indonesia. (al Faqier ilallah : Muhammad Syamsi Mawardi)