MANAJEMEN KEPEMIMPINAN YANG KENYAL (2)
A. Dalil Pokok:
فَبِمَا رَحْمَةٍ مِّنَ اللّٰهِ لِنْتَ لَهُمْ ۚ وَلَوْ
كُنْتَ فَظًّا غَلِيْظَ الْقَلْبِ لَانْفَضُّوْا مِنْ حَوْلِكَ ۖ فَاعْفُ عَنْهُمْ
وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِى الْاَمْرِۚ فَاِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ
عَلَى اللّٰهِ ۗ اِنَّ اللّٰهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِيْنَ ١٥٩ )ال عمرن : 159(
B. Tentang
Musyawarah
Pada bagian kedua pengkajian Surah Ali Imran ayat 159 ini, dibahas mengenai
musyawarah. Sekurangnya ada dua ayat lain yang secara lafadz menerangkan
tentang musyawarah (Qs.42:38 dan 2 : 233). Adapun ta’rif musyawarah adalah berasal dari kata ( مشاورة). Ia adalah masdar dari kata kerja شور - يشور,
yang berakar kata {ر ش و} dengan
pola fa’ala. Struktur akar kata tersebut bermakna pokok “menampakkan
dan menawarkan sesuatu”. Dari makna terakhir ini muncul ungkapan شورت فلانا في الامر (aku mengambil pendapat si Fulan mengenai
urusanku)2).
Pendapat senada mengemukakan
bahwa musyawarah pada mulanya bermakna “mengeluarkan madu dari sarang lebah”.
Makna ini kemudian berkembang sehingga mencakup segala sesuatu yang dapat
diambil atau dikeluarkan dari yang lain (termasuk pendapat). Karenanya, kata
musyawarah pada dasarnya hanya digunakan untuk hal-hal yang baik, sejalan
dengan makna dasarnya. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, musyawarah diartikan
sebagai: pembahasan bersama dengan maksud mencapai keputusan atas penyelesaian
masalah bersama. Selain itu dipakai juga kata musyawarah yang berarti berunding
dan berembuk.3)
C. Dasar Panduan Hadits
حَدَّثَنَا هَنَّادٌ حَدَّثَنَا أَبُو مُعَاوِيَةَ عَنْ الْأَعْمَشِ عَنْ
عَمْرِو بْنِ مُرَّةَ عَنْ أَبِي عُبَيْدَةَ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ لَمَّا
كَانَ يَوْمُ بَدْرٍ وَجِيءَ بِالْأُسَارَى قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا تَقُولُونَ فِي هَؤُلَاءِ الْأُسَارَى فَذَكَرَ قِصَّةً
فِي هَذَا الْحَدِيثِ طَوِيلَةً قَالَ أَبُو عِيسَى وَفِي الْبَاب عَنْ عُمَرَ
وَأَبِي أَيُّوبَ وَأَنَسٍ وَأَبِي هُرَيْرَةَ وَهَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ وَأَبُو
عُبَيْدَةَ لَمْ يَسْمَعْ مِنْ أَبِيهِ وَيُرْوَى عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ مَا
رَأَيْتُ أَحَدًا أَكْثَرَ مَشُورَةً لِأَصْحَابِهِ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Telah
menceritakan kepada kami Hannad berkata, telah menceritakan kepada kami Abu
Mu'awiyah dari Al A'masy dari Amru bin Murrah dari Abu Ubaidah dari Abdullah ia
berkata, "Ketika perang badar usai dan para tawanan didatangkan,
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Apa pendapat kalian
mengenai pata tawanan itu…lalu perawi menyebutkan kisah yang panjang dalam
hadits ini." Abu Isa berkata, "Dalam bab ini juga ada hadits dari
Umar, Abu Ayyub, Anas dan Abu Hurairah. Dan hadits ini derajatnya hasan. Abu
Ubaidah belum pernah mendengar dari bapaknya. Telah diriwayatkan pula dari Abu
Hurairah, ia berkata, "Aku tidak pernah melihat seseorang yang paling
sering bermusyawarah dengan para sahabat selain dari pada Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam."
D. Pendapat
Sahabat Nabi SAW dan Ulama 4)
قال علىُّ : ما هلك امْرُؤُ عن مشا ورةٍ قيل : رجلٌ ونصف
رجلٌ ولاشئ فالرجل من له رأي صا ئبٌ ويشاور ونصف رجلٍ من له رأيٌ صائبٌ
ولكن لايشاور اويشاورولكن لارأى له ولاشئ من لارأى له ولا
يشاوِرُ
Sayyidina Ali
r.a, berkata : tidak akan mengalami kerusakan orang yang mau bermusyawarah.
Sebagian ulama ada yang mengatakan, keadaan manusia (dalam hal musyawarah) ada
tiga macam :
1.
Orang yang sempurna, yaitu orang yang mempunyai gagasan yang benar, dan mau bermusyawarah.
2.
Setengah sempurna, yaitu orang yang mempunyai gagasan yang benar, dan tidak mau bermusyawarah. Atau mau
bermusyawarah, namun tidak mempunyai gagasan yang benar.
3.
Tidak termasuk manusia, apabila ada orang yang tidak mempunyai gagasan yang
benar, dan tidak mau bermusyawarah.
.......فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ
وَشَاوِرْهُمْ فِى الْاَمْرِۚ فَاِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللّٰهِ ۗ اِنَّ
اللّٰهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِيْنَ ١٥٩
Bagi pemimpin dalam mengelola dan menggerakkan umat, maka
faktor akhlaq semestinya mendasarinya. Hal ini dibuktikan dengan sikap pemaaf
dan memohonkan ampunan bagi kekeliruan umat. Kemudian dalam melaksanakan
program kerja senantiasa mengajak bermusyawarah atau berunding guna mencari jalan
terbaik. Apabila hasil musyawarah berupa kemufakatan bersama lalu telah diteguhkannya
atau disahkan (فَاِذَا عَزَمْتَ), maka semua
musyawirin berkewajiban melaksanakannya, apapun konsekuensi dan resikonya. Karena kewajiban hamba Allah hanya
melaksanakan tugas, adapun hasil akhir diserahkan (tawakkal) kepadaNya.
Umat yang diajak bermusyawarah akan memiliki tanggung
jawab lahir – bathin terhadap semua keputusan musyawarah. Allah mencintai orang
– orang yang bertawakal, sebaliknya membenci sikap khianat dan pengecut yang
lari dari tanggung jawab. Musyawarah merupakan intisari terbaik dan akomodatif
dari semua pandangan yang benar untuk
tujuan tertinggi, tegaknya urusan Dinul Islam. Semua urusan bagi kepentingan
nafsu dan ego pribadi serta kelompok mesti dikalahkan demi berlakunya Syariat
Dinullah.
Seorang pemimpin akan jadi sorotan umat, ia akan berhadapan dengan public
opinion (komentar dan kritikan masyarakat) atas semua sikap dan
keputusannya. Selama ia berada pada pijakan dan motivasi yang benar, maka jiwa
raganya harus berani menanggungnya dengan landasan akhlaq mulia, yaitu sikap
kasih sayang dengan penuh keakraban. Sikapnya jujur berfihak pada kebenaran,
meluruskan yang keliru dan memaklumi kekurangan umat. Kondisi hati yang keras (فَظًّا), artinya memaksakan pandangan
pribadi karena ujub, lalu kasar hati (غَليظَ القَلْبِ), yaitu
menyalahkan dan merendahkan orang lain demi berkompensasi atas kekeliruan diri,
berakibat umat jadi berpencar dari kebersamaan. Berjalan atau mandegnya suatu
program adalah tanggung jawab pemimpin, karena fungsi kontrol dan evaluasi
terhadap progres report berada di pundaknya. Setiap mukmin sejatinya
penanggung jawab sesuai jabatan dan fungsinya, kelak di akhirat akan disoal
akan hal ini (وكُلُكُمْ مَسْؤُلٌ كُلُكُمْ رَاعٍ).
Musyawarah
berbeda dengan debat (mujadalah) karena dilarang dilakukan sesama mukmin
(Qs.29:46), tidak sama dengan “rapat kerja” seperti lazimnya organisasi dalam
meluluskan proyek dengan memaksa menggoalkan pendapat masing – masing. Dalam
musyawarah terkandung didalamnya proses mudzakarah, munadharah, mutholaah,
azzam dan tawakkal. Oleh karena itu pimpinan harus menjelaskan urusan apa yang
akan dimusyawarahkan, bukan memperdebatkan dalil. Musyawirin harus faham urusan tersebut dan memiliki
pandangan yang benar, niat yang tulus, serta sikap bertanggung jawab. Kapasitas
dan kapabilitas manusia dalam bermusyawarah dibagi menjadi 3 kriteria. Maka
demi mencapai keputusan yang tepat, hendaklah musyawirin memenuhi persyaratan
pada kriteria pertama, yaitu manusia yang seutuhnya atau mumpuni. (2/Ahad, rabiul ‘ula 1444 H, Abu Abdul Karim)
Rujukan:
1) Kitab At
Thobary, Tafsir Kuliyah Subuh, al Mukarram Ustadz Muhammad Bardan Kindarto.
2) Abu Husayn Ahmad bin Faris bin Zakariyya,
Mu‟jam Maqayis al-Lughah, Juz III (Mesir: Mustafa AlBab al-Halabi, 1972), 226.
3) Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus
Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1989), 603.
4) Kitab Ta’lim
Muta’alim, disusun Burhânuddîn Ibrâhim al-Zarnûji al-Hanafi.