MUDZAKARAH ULAMA

ومن الناس والدّواب والانعم مختلفٌ الونه كذلك انما يخشى الله من عباده العلماء انّ الله عزيزٌ غفورٌ ـ

Kamis, 24 April 2008

BAGAIMANA CIRI KHAS 'ULAMA SU' DAN 'ULAMA SHOHIH

الحمد للهِ الّذي ارسل رسولهُ بالهدى ودين الحقِّ ليظهرهُ على الدِّين كلّه ولو كره المشركون . اللّهم صلّى على محمّد وعلى اَلِيهِ واصْحابهِ

اعوذ بالله من الشّيطان الرّجيم

ومن الناس والدّواب والانعم مختلفٌ الونه كذلك انما يخشى الله من عباده العلماء انّ الله عزيزٌ غفورٌ ـ

Artinya :

“Dan diantara manusia, dan diantara yang melata dan diantara hewan ternak yang bermacam warna dan jenisnya, sesungguhnya yang paling takut kepada Allah diantara hamba-hambaNYa adalah al-‘Ulama, (Qs.Fathir, 35 : 28)


Amma ba’du
, dalam sebuah hadits riwayat Muslim bersumber dari Anas yang membayankan atau menjelaskan terhadap al Qur-an Surah Fathir ayat 28 di atas dinyatakan bahwa :

العلماء اُمناء الله على خلقهِ

("al ‘Ulama adalah pemegang amanah Allah atas makhluqnya”).

Kemudian ada juga satu lagi hadits dari sumber Anas, riwayat Muslim yang menyatakan :

العلماءُ امناء الرّسل مالن يٌخلط السلطانَ ودخل الدنياَ اذا خلط السلطان ودخل الدنيا فقد خان الرسل فاهذروهُ

(Al ‘Ulama pemegang amanah para rosul, selama ia tidak menjilat penguasa / ambisi kekuasaan, dan tidak cinta berat terhadap dunia / materialis, jika ia menjilat penguasa / ambisi kekuasaan, dan cinta berat terhadap dunia / materialis maka sungguh ia telah menghianati para rosul, maka jauhilah ia”).

Hadits ini menjelaskan al Qur-an Surah Assyura ayat 13 :

شرع لكم من الدين ما وصى به نوحآ والذي اوحينا اِليك وما وصّينا به ابراهيم وموسى وعيسى انْ اقيموا الدّين ولا تتفرّقوا فيه كبر على المشركين ما تدعوهم اليهِ الله يجتبى اليه من يشاء ويهدى من ينيب ـ

“Disyariatkan atas kamu ad Din, (yaitu) apa yang Kami wasiatkan dengannya kepada Nuh, dan apa-apa yang Kami wahyukan kepadamu (Muhammad), dan apa-apa yang Kami wasiatkan dengannya kepada Ibrahim dan Musa dan Isa, bahwa tegakkanlah ad Din dan janganlah berpecah-belah didalamnya. Berat rasanya bagi orang-orang musyrik seruan kamu atas mereka, Allah menetapkan dengan seruan itu siapa yang dikehendakiNya, dan menunjuki dengannya orang-orang yang kembali (bertaubat)”.

Sedangkan ada pula sebuah hadits yang berbunyi :

العلماءُ ورثُ الانبياءَ

(al 'ulama adalah pewaris para nabi).

Tetapi kedudukan matan atau isi hadits ini lemah (dhoif) sehingga tidak boleh dijadikan hujjah, karena masalah kenabian tidaklah diwariskan.

Maka kedudukan ‘ulama adalah suatu ketetapan dari Allah bagi hamba-hambaNya yang terpilih untuk memegang amanah kerasulan, yaitu memandu ummat dengan sistem dan program yang telah dicontohkan Rosulullah menuju kebahagiaan sejati di dunia akhirat setelah Dia tidak lagi mengutus para nabi dan rosul pembawa risalah.

Berdasarkan kaidah bahasa arab, ‘ulama’ berasal dari kata kerja dasar ‘alima (telah mengetahui); berubah menjadi kata benda pelaku ‘alimun (orang yang mengetahui - mufrad/singular) dan ‘ulama (jamak taksir/irregular plural).

Berdasarkan istilah, pengertian ulama dapat dirujuk pada al-Qur-an dan hadis. Namun yang sangat masyhur dalam hal ini adalah :

انّما يخش اللهَ من عبدهِ العلماءُ

(sesungguhnya yang paling takut kepada Allah diantara hambaNya adalah ’ulama).

Kata al-’ulama’ dan al-’alimun sekalipun berasal dari akar kata yang sama tapi keduanya memiliki perbedaan makna yang sangat signifikan. Perbedaan makna ini dapat ditengarai dalam Al-Qur-an ketika kata al ’ulama’ disebutkan hanya 2 (dua) kali dan kata al alimun sebanyak 5 (lima) kali, dan kata al ’alim sebanyak 13 (tiga belas) kali (lihat al-Baqi, al-Mu’jam, hlm. 603-604). Penggunaan kata al-’ulama’ dalam Al Qur-an selalu saja diawali dengan ajakan untuk mengkaji secara mendalam terhadap esensi dan eksistensi al Khaliq serta ayat-ayatNya, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis. Ajakan berfikir secara benar terhadap ayat-ayat Allah ini antara lain bertujuan untuk mencari sebab akibat terhadap hal-hal yang akan terjadi sehingga dapat memunculkan kaidah-kaidah baru yang bersumber dari Kitabullah. Sehingga dengan kaidah ini akan dapat dimunculkan program pengentasan permasalahan ummat. Ummat yang mengambilnya sebagai panduan maka akan selamat begitupun sebaliknya.

Kata al-’alimun diiringi dengan usainya suatu peristiwa dan Al-Qur-an menyuruh mereka untuk merenungi kejadian ini sebagai bahan evaluasi agar kejadian tersebut tidak terulang lagi. Contoh pada tataran ini adalah ketika Al-Qur’an mengajak al-’alimun untuk memikirkan peristiwa-peristiwa yang dialami oleh umat terdahulu disebabkan dosa yang mereka lakukan (lihat Q.S. Al-’Ankabut ayat 40-43).

Penyebutan kata al-’alim dalam bentuk tunggal semuanya mengacu hanya kepada Allah dan tidak kepada selainNya. Penggunaan kata ini diiringi dengan penciptaan bumi dan langit serta hal-hal yang ghaib dan yang nyata. Hal ini mengindikasikan bahwa munculnya pengetahuan manusia berbarengan dengan munculnya ciptaan-ciptaan Allah.

Bercermin kepada ayat di atas bahwa Allah menjelaskan, diantara hamba-hambaNya yang diperintahkan mengabdi kepadaNya, maka yang paling takut kepada Allah hanyalah orang-orang yang telah menepati kriteria al-‘ulama.

Bila coba kita uraikan satu persatu lafadz dalam Surah Fathir ayat 28 di atas secara kaidah tafsir bil matsur (menafsirkan dengan panduan al-qur-an dan hadits shohih), maka insyaAllah akan didapati kandungan makna yang mendalam.

Pertama lafadz “yahsya” yang bermakna “takut” adalah memiliki bobot yang lebih dibanding lafadz “khoufa” yang juga bermakna takut. Coba perhatikan lafadz “khouf” dalam Surah Ali Imran ayat 139 :

"ولا تهنوا ولا تحزنوا...."

(Dan jangan kamu takut dan janganlah berduka cita..).

Takut pada ayat ini arahnya adalah rasa takut terhadap makhluq (khususnya kuffar) karena Allah telah menetapkan derajat yang mulia kepada hambanya yang beriman. ”...Wa antum al-a’launa in kuntum mukminin” (sedang kamu kamu mulia, jika kamu beriman).

Sedangkan lafadz ”yahsya” (takut) pada Surah Fathir ayat 28 adalah rasa takut kepada sesuatu yang pantas untuk ditakuti, yaitu kepada Allah Rabbul 'Ala. Munasabahnya atau persesuaian maknanya dapat kita lihat dalam surah an Nur ayat 52 :

ومن يطع الله ورسوله ويخش الله ويتّقهِ فاُ ولاءك هم الفا ءزون ـ

(Siapa yang taat kepada Allah dan Rosul, dan takut dan bertaqwa maka merekalah orang-orang yang mendapatkan kemenangan).

Maka siapa saja yang taat kepada Allah dan RasulNya karena dilandasi sifat takut, maka sifat takut ini akan mewujudkan perilaku taqwa, selanjutnya taqwa inilah yang menjadi syarat bagi seseorang untuk mendapatkan kemenangan di dunia dan di akhirat.

Faktor atau sebab apakah yang menyebabkan seorang hamba menjadi takut kepada Allah? Sebabnya adalah karena ia mengenal kebesaran Allah. Sedangkan yang dapat mengenal kebesaranNya hanyalah hamba-hamba Allah yang diberi kefahaman ilmu yang mendalam atau disebut al ’Ulama.

Siapa Saja Yang Digolongkan Allah Sebagai ’Ulama?

Mari coba kita telusuri penjelasanNya dalam alQur-an dan hadits-hadits RasulNya mengenai derajat al-’Ulama.

Pertama... dalam surah at-Taubah ayat 128 :

لقدْ جاء كم رسولٌ من انفسكم عزيزٌ عليه ما عنتّم جريصٌ عليكم بالمؤمنين رءفٌ رّجيم ـ

“Sungguh telah didatangkan kepadamu seorang utusan dari golonganmu sendiri, terasa berat baginya apa-apa yang menimpa kamu peduli kepadamu, terhadap mukmin penyantun dan penyayang”.

Lafadz ”rosulun” (seorang utusan) adalah berbentuk ism nakhirah (umum), berbeda dengan ”al rosul” (seorang utusan) berbentuk ism makrifat (khusus). Maknanya ”rosulun” pada ayat ini dapat berarti Rosulullah Muhammad atau bisa pula artinya para ’ulama. Sedangkan ”al rosul” jelas arahnya hanya bermakna Rosulullah (Muhammad SAW).

Karena ada dua hadits riwayat Muslim dari Anas yang menjelaskan tentang keberadaan al-’Ulama, yaitu :

العلماءُ امناء الرّسل مالن يٌخلط السلطانَ .... العلماء اُمناء الله على خلقهِ

Juga satu hadits yang berbunyi :

اذا رايت عالم يخلدُ السّلطان مخلطت كثير فاعلم انهَُ لصٌ

”Jika kamu lihat seorang ’alim mendekati penguasa atau banyak campur tangan urusan penguasa, maka ketahuilah bahwa ia adalah pencuri”

Maka... jelaslah bahwa Allah tidak lagi mengutus Nabi dan Rosul setelah Rosulullah Muhammad, maka Dia meletakkan amanah kepemimpinan ummat dan makhluqNya hanya kepada al ‘Ulama, untuk memandu menuju keridhaanNya.

Kedua... dalam Surah an Nur ayat 37,

رجالٌ لاَّ تلهيهم تجارة ولا بيعٌ عن ذكر الله واقام الصلواةِ واِيتاء الزّكوة يخافون يومآ تتقلّب فيهِ القلوب والابصرُ ـ

“Lelaki yang tidak terlena dengan perdagangan dan jual-beli dari dzikrullah, dan menegakkan sholat dan mendatangkan zakat, karena takut kepada suatu hari dibolak-balikkan hati dan pandangan”

Makna tidak terlena adalah, segala aktivitas di dunia yang tujuannya untuk kesenangan pribadi akan mampu disingkirkannya demi memenuhi seruan yang lebih utama yaitu memenuhi panggilan Allah dan rosulNya. Sehingga seluruh niat atau motivasi dan ‘amaliyah atau kerjanya dialandasi karena perintah Allah dan rosulNya.

Ketiga... dalam Surah al Baqarah ayat 207-208,

ومن النّاس من يشرى نفسه ابتغاء مرضات الله والله رءوفٌ بالباد ـ ياءيّها الذين ءامنوا ادْخلوا فى السلْم كافّة ولا تتبعوا خطوات الشّيطان انّه لكم عدُوٌّ مُّبينٌ ـ

“Dan diantara manusia ada yang mereka menjual dirinya untuk mencari keridhoan Allah, dan sungguh Allah Maha Penyantun terhadap hambaNya. Wahai orang-orang beriman, masuklah kamu kedalam kesepakatan (assilmun) secara ka-ffah (mendunia), dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaithon, sesungguhnya syaithon adalah musuhmu yang nyata”.

Lafadz “assilmun” umumnya diterjemahkan sebagai Islam, namun menurut Kamus Annubuwah maknanya adalah “bentuk kesepakatan”. Maka yang dapat bersepakat secara kaffah (mendunia) bukanlah orang-orang awwam. Tetapi hanyalah para ’ulama yang telah menjual lahir-bathinnya kepada Allah. Sedangkan dalam Kitab Ilmu Tafsir al Itqon, yang disusun Imam as Suyuthi, dinyatakan bahwa ”assilmun” maknanya adalah ”attho’ah” (keta’atan), dan ”ka-ffah” (al jama-ah). Artinya keta’atan secara berjamaah.

Natijah (Kesimpulan)

Dari beberapa ayat dan hadits diatas dapatlah ditarik suatu kesimpulan bahwa Allah menetapkan beberapa kriteria atau ciri khas al ‘ulama yang dapat dikenali, sedangkan seorang hambanya tidak dibenarkan memplokamirkan dirinya sebagai ‘ulama, yang dikhawatirkan menimbulkan sikap takabur. Karena kedudukan ‘ulama hanya Dia yang Maha Mengetahui dan bukan gelar dari manusia ataupun dari penguasa.

Atas dasar itulah sifat dan sikap yang dapat kita kenali dari al‘ulama antara lain :

  1. Takut untuk mengada-adakan suatu ucapan atau perbuatan atas nama perintah Allah atau rasulNya. Ia berhati-hati dalam beribadah dengan semata-mata berlandaskan kepada hujjah dari Kitabullah dan sunah rasulNya yang shohih, sehingga memunculkan ’amaliyah taqwa. (Qs.35 : 28 dan Qs. 24 :52).
  2. Menjadikan Syariat Islam sebagai satu-satunya solusi final bagi keselamatan ummat manusia sedunia(Qs.42 :13).
  3. Memiliki rasa prihatin kepada penderitaan ummat, kemudian mengupayakan suatu solusi / harish (program pengentasan ummat), karena memiliki sifat penyantun dan penyayang (Qs.9 :128)
  4. Memegang teguh amanah dari Allah berupa dan shabar / teguh pendirian terhadap godaan dan cobaan, karena rosul menjelaskan bahwa ’ulama tidak pernah melakukan hal-hal berikut : menjilat atau mencari muka kepada penguasa, ambisi jabatan, cinta berat terhadap dunia atau materialistik. Artinya segala amalnya tidak diukur dengan uang, tidak banyak ikut campur urusan penguasa apalagi berpolitik. Karena bila mereka melanggar batasan ini, maka rosul memberi julukan sebagai pencuri (li-sun) dan pengkhianat, dan ummat diperintahkan menjauh dari ’ulama syu’ ini.
  5. Mengutamakan urusan perintah Allah dengan ibadah / dzikir, menegakkan sholat dan mendatangkan zakat diatas segala urusan pribadi seperti perdagangan dan jual-beli. (Qs.24 : 37).
  6. Menyerahkan / menjual lahir-bathinnya hanya kepada Allah dengan mengharap ridhoNya bukan mengharap imbalan materi, kedudukan, dan pujian manusia. (Qs.2:207)
  7. Mengupayakan untuk membangun kesepakatan ’Ulama secara mendunia dalam menepati perintah Allah untuk menerapkan Syariat Islam secara kaffah. (Qs.2:208).


Wallahu’alam bi showab