MUDZAKARAH ULAMA

ومن الناس والدّواب والانعم مختلفٌ الونه كذلك انما يخشى الله من عباده العلماء انّ الله عزيزٌ غفورٌ ـ

Senin, 09 Februari 2009

KUSUFUL QOMARIY

Pada 14 shafar 1430 Hijriyah atau 9 Februari 2009, wilayah Indonesia mengalami gerhana bulan penumbra. Gerhana yang akan terjadi nanti dapat diamati dari seluruh daerah di Indonesia. Bulan berada di langit sebelah timur pada saat dimulainya gerhana pukul 12.36 UT atau 19.36 WIB. Gerhana ini mencapai fase puncaknya pada pukul 14.38 UT atau 21.38 WIB dan berakhir pada pukul 16.39 UT atau 23.39 WIB. Maka telah dilaksanakan sholat kusuf (gerhana bulan) pada malam tadi dibeberapa masjid di Indonesia, termasuk di Masjid al Muqoffa di Yayasan AKUIS yang diikuti beberapa ummat msulim di sekitar kota Palembang termasuk anggota DP3MU.






Sesuai dengan namanya, pada gerhana bulan penumbra [semu; Penumbra Eclipse of the Moon ; Khusuful Qomariy ] hanya bayangan penumbra Bumi saja yang jatuh di permukaan Bulan. Akibatnya, bulan bukannya mengalami perubahan bentuk sebagaimana yang terjadi pada gerhana Bulan total ataupun gerhana Bulan sebagian, melainkan hanya akan mengalami perubahan kecerlangan. Perubahan kecerlangan Bulan ini akan sulit kita deteksi dengan mata telanjang kecuali ketika memasuki puncak gerhana, walaupun pada saat itu tidak seluruh permukaan Bulan tertutupi penumbra.

InsyaAllah, nanti akan terjadi gerhana-gerhana selanjutnya di tahun 2009 ini, yaitu Gerhana Bulan Penumbra 7 Juli 2009, Gerhana Matahari Total 22 Juli 2009, Gerhana Bulan Penumbra 6 Agustus 2009, dan Gerhana Bulan Sebagian 31 Desember 2009, yang sekaligus akan menandai pergantian tahun.

Bukan Sekedar Fenomena Alam

Allah SWT., menyatakan :
الشَّمْسُ وَالْقَمَرُ بِحُسْبَانٍ
“matahari dan bulan (beredar) menurut perhitungan” (Qs.Arrahman:5)

Lafadz بِحُسْبَانٍ bermakna pula alat perhitungan (hisab) bagi waktu-waktu ibadah. Seperti dalam waktu masuk sholat wajib 5 waktu, sholat dhuha, sholat gerhana, shoum dan haji. Semuanya berpatokan pada kedudukan bulan dan matahari terhadap bumi.

Bagi sebagian orang (kelompok ingkar sunnah) ada yang mengingkari sholat gerhana dan sholat dhuha dengan alasan bahwa hal ini ini adalah bid’ah, karena sama saja dengan menyembah matahari dan bulan. Mereka menggunakan beberapa dalil antara lain Surah Fushilat ayat 37 :

وَمِنْ آيَاتِهِ اللَّيْلُ وَالنَّهَارُ وَالشَّمْسُ وَالْقَمَرُ لا تَسْجُدُوا لِلشَّمْسِ وَلا لِلْقَمَرِ وَاسْجُدُوا لِلَّهِ الَّذِي خَلَقَهُنَّ إِنْ كُنْتُمْ إِيَّاهُ تَعْبُدُونَ

“dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah malam, siang, matahari dan bulan. janganlah sembah matahari maupun bulan, tapi sembahlah Allah yang menciptakannya, jika ialah yang kamu hendak sembah”.

Namun tentunya hal ini tidaklah perlu kita hiraukan karena merupakan tafsir ‘ala jahiliyah. Sedangkan hadits-hadits dari Muhammad Rosulullah mengenai tuntunan sholat dhuha dan gerhana yang wajib kita percayai. Jika memang kelompok pengingkar ini tidak menginginkan matahari dan bulan sebagai ketetapan waktu beribadah, berarti mereka juga telah mengingkari seluruh ibadah sholat, shoum dan haji.

Dalam ayat lain Allah menjelaskan :

Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam dan (dirikanlah pula shalat) subuh. Sesungguhnya shalat subuh itu disaksikan (oleh malaikat). (Qs.17:78).

Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan yang demikian itu melainkan dengan hak. Dia menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya) kepada orang-orang yang mengetahui. (Qs.10:5)

Shalat kusuf (gerhana bulan) dan khusuf (gerhana matahari) merupakan sunnah mua’kkad. Disunahkan bagi orang muslim untuk mengerjakannya. Hal itu didasarkan pada hadits berikut ini:

Dari Aisyah Radhiyallahu ‘anha, dia bercerita bahwa pada masa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam terjadi gerhana matahari, lalu beliau mengerjakan shalat bersama orang-orang. Maka beliau berdiri dan memanjangkan waktu berdiri, lalu beliau ruku dan memanjangkannya. Kemudian beliau berdiri dan memanjangkannya –berdiri yang kedua ini tidak selama berdiri pertama-. Setelah itu, beliau ruku dan memanjangkan ruku, ruku-nya ini lebih pendek dari ruku pertama. Selanjutnya, beliau sujud dan memanjangkannya. Kemudian beliau mengerjakan pada rakaat kedua seperti apa yang beliau kerjakan pada rakaat pertama. Setelah itu, beliau berbalik sedang matahari telah muncul. Lalu beliau memberikan khutbah kepada orang-orang. Beliau memanjatkan pujian dan sanjungan kepada Allah. Dan setelah itu, beliau bersabda :

“Artinya : Sesungguhnya matahari dan bulan itu merupakan dua (tanda) dari tanda-tanda kekuasaan Allah. Keduanya tidak mengalami gerhana karena kematian seseorang dan tidak juga karena kehidupan seseorang. Oleh karena itu, jika kalian melihat hal tersebut maka hendaklah kalian berdo’a kepada Allah, bertakbir, shalat dan bershodaqoh”. Setelah itu, beliau bersabda : “Wahai umat Muhammad, demi Allah, tidak ada seorang yang lebih cemburu dari Allah jika hambaNya, laki-laki atau perempuan berzina. Wahai umat Muhammad, seandainya kalian mengetahui apa yang aku ketahui, niscaya kalian akan sedikit tertawa dan banyak menangis” (Diriwayatkan oleh Asy-Syaikhani)

Sejarah Sholat Gerhana

Pada suatu waktu di Madinah mengalami gerhana matahari, bertepatan pada hari itu seorang anaknya Muhammad Rosulullah yang bernama Ibrahim diwafatkan Allah. Maka ada orang yahudi dan munafiq yang menyebarkan kabar bohong bahwa gerhana terjadi karena wafatnya anak rosulullah. Maka dengan datangnya hadits di atas merupakan bantahan terhadap pendapat tersebut atau sebagai asbabun wurudnya (sebab turunnya).

Dapat di katakan, sisi dalil yang dikandung hadits di atas, bahwa perintah mengerjakan sholat itu berbarengan dengan perintah untuk bertakbir, berdo’a, dan bershodaqoh. Karena rosul membenci orang-orang yang makan minum ditempat orang yang mengalami musibah kematian, maka adanya perintah bershodaqoh dengan membawa makanan dan minuman untuk dibagikan selepas sholat gerhana merupakan suatu bantahan yang jelas terhadap isu yang berkembang saat itu.

Tuntunan Sholat Khusuf


Pertama, Tidak Ada Adzan Dan Iqamah Untuk Shalat Kusuf

Para ulama telah sepakat untuk tidak mengumandangkan adzan dan iqomah bagi shalat kusuf [3]. Dan yang disunnahkan [4] menyerukan untuknya “ Ash-Shalaatu Jaami’ah”.

Yang menjadi dalih bagi hal tersebut adalah apa yang ditegaskan dari Abdullah bin Amr Radhiyallahuma, dia bercerita : “Ketika terjadi gerhana matahari pada masa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, diserukan : Innash Shalaata Jaami’ah” Diriwayatkan oleh Asy-Syaikhani.[5]

Kedua, Jumlah Raka’at Shalat Kusuf

Shalat gerhana itu dikerjakan dua rakaat dengan dua ruku’ pada setiap rakaat. Yang menjadi dalil hal tersebut adalah hadits Aisyah Radhiyallahu ‘anha yang telah kami sampaikan sebelumnya. Dan juga hadits yang diriwayatkan dari Abdullah bin Abbas Radhiyallahu ‘anhuma, dia bercerita : “Pernah terjadi gerhana matahari pada masa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka beliaupun berdiri dengan waktu yang panjang sepanjang bacaan surat Al-Baqarah. Kemudian beliau ruku dengan ruku yang cukup panjang, lalu beliau bangkit dan berdiri dalam waktu yang lama juga- -tetapi lebih pendek dari berdiri pertama-. Kemudian beliau ruku dengan ruku yang lama –ruku yang lebih pendek dari ruku pertama-. Setelah itu, beliau sujud. Kemudian beliau berdiri dalam waktu yang lama –tetapi lebih pendek dari berdiri pertama. Selanjutnya, beliau ruku dengan ruku yang lama- ruku yang lebih pendek dari ruku pertama. Setelah itu, beliau sujud. Kemudian beliau berbalik, sedang matahari telah muncul. Maka beliau bersabda.

“Artinya : Sesungguhnya matahari dan bulan itu merupakan dua dari tanda-tanda kekuasaan Allah. Keduanya tidak mengalami gerhana karena kematian seseorang dan tidak juga karena kehidupan seseorang. Oleh karena itu, jika kalian melihat hal tersebut, maka berdzikirlah kepada Allah”

Para sahabat bertanya : “Wahai Rasulullah, kami melihatmu mengambil sesuatu di tempat berdirimu, kemudian kami melihatmu mundur ke belakang”. Beliau bersabda.

“Artinya : Sesungguhnya aku melihat Surga, maka aku berusaha mengambil setandan (buah-buahan). Seandainya aku berhasil meraihnya, niscaya kalian akan dapat memakannya selama dunia ini masih ada. Dan aku juga melihat Neraka, aku sama sekali tidak pernah melihat pemandangan yang lebih menyeramkan dari pemandangan hari ini. Aku melihat kebanyakan penghuninya adalah wanita”.

Para sahabat bertanya, “Karena apa, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Karena kekufuran mereka”. Ada yang bertanya “Apakah mereka kufur kepada Allah?”. Beliau menjawab.

“Artinya : Mereka kufur kepada keluarganya (suaminya), dan kufur terhadap kebaikan (tidak berterima kasih). Seandainya engkau berbuat baik kepada salah seorang di antara mereka sepanjang waktu, lalu dia melihat sesuatu (kesalahan) darimu, niscaya dia akan mengatakan : “Aku tidak pernah melihat kebaikan sedikitpun darimu” {Diriwayatkan oleh Asy-Syaikhani] [6]

Kesimpulan

Didalam hadits Aisyah Radhiyallahu ‘anha dan Ibnu Abbas Radhiyallahu anhuma diatas terdapat dalil yang menunjukkan disunnatkannya khutbah dalam shalat kusuf, yang disampaikan setelah shalat.[7]

Ketiga, Menjaharkan Bacaan Dalam Shalat Kusuf

Bacaan dalam shalat kusuf dibaca dengan jahr (suara keras), sebagaimana yang dikerjakan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Dari Aisyah Radhiyallahu ‘anha : Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjaharkan bacaannya dalam shalat kusuf. Jika selesai dari bacaannya, beliau pun bertakbir dan ruku. Dan jika dia bangkit ruku, maka beliau berucap : “Sami Allaahu liman Hamidah. Rabbana lakal hamdu”. Kemudian beliau kembali mengulang bacaan dalam shalat kusuf. Empat ruku dalam dua rakaat dan empat sujud.” Diriwayatkan oleh Asy-Syaikhani] [8]

At-Tirmidizi rahimahullah mengatakan : “Para ulama telah berbeda pendapat mengenai bacaan didalam shalat kusuf. Sebagian ulama berpendapat supaya dibaca pelan (sirr, dengan suara tidak terdengar) dalam shalat kusuf pada waktu siang hari. Sebagian lainnya berpendapat supaya menjaharkan bacaan dalam shalat kusuf pada siang hari. Sebagaimana halnya dengan shalat ‘Idul Fithi dan Idul Adha serta shalat Jum’at. Pendapat itulah yang dikemukakan oleh Malik, Ahmad dan Ishaq. Mereka berpendapat menjaharkan bacaan pada shalat tersebut. Asy-Syafi’i mengatakan : Bacaan tidak dibaca Jahr dalam shalat sunnat [9]

Dapat saya katakan bahwa apa yang sesuai dengan hadits, itulah yang dijadikan sandaran [10]. Wabillahi Taufiq

Keempat, Shalat Kusuf Dikerjakan Berjamah Di Masjid.

Yang sunnat dikerjakan pada shalat kusuf adalah mengerjakannya di masjid. Hal tersebut didasarkan pada beberapa hal berikut ini.

[1]. Disyariatkannya seruan di dalam shalat kusuf, yaitu dengan “Ash-Shalaatu Jaami’ah”
[2]. Apa yang disebutkan bahwa sebagian sahabat mengerjakan shalat kusuf ini dengan berjama’ah di masjid.[11]
[3]. Isyarat yang diberikan oleh kedua riwayat di atas dari hadits Aisyah dan Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhuma, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengerjakan shalat gerhana itu secara berjama’ah di masjid. Bahkan dalam sebuah riwayat hadits Aisyah di atas, dia bercerita, “Pada masa hidup Rasulullah pernah terjadi gerhana matahari, lalu beliau pergi ke masjid, kemudian beliau berdiri dan bertakbir, dan orang-orang pun membuat barisan di belakang beliau. [12]

Kelima, Jika Seseorang Tertinggal Mengerjakan Satu dari Dua Ruku Dalam Satu Raka’at.

Shalat kusuf ini terdiri dari dua rakaat, masing-masing rakaat terdiri dari dua ruku dan dua sujud. Dengan demikian, secara keseluruhan, shalat kusuf ini terdiri dari empat ruku dan empat sujud di dalam dua rakaat.

Barangsiapa mendapatkan ruku kedua dari rakaat pertama, berarti dia telah kehilangan berdiri, bacaan, dan satu ruku. Dan berdasarkan hal tersebut, berarti dia belum mengerjakan satu dari dua rakaat shalat kusuf, sehingga rakaat tersebut tidak dianggap telah dikerjakan.Berdasarkan hal tersebut, setelah imam selesai mengucapkan salam, maka hendaklah dia mengerjakan satu rakaat lagi dengan dua ruku, sebagaimana yang ditegaskan di dalam hadits-hadits shahih. Wallahu a’lam.

Yang menjadi dalil baginya adalah sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

“Artinya : Barangsiapa mengerjakan suatu amalan yang bukan atas perintah kami, maka dia akan ditolak” [Muttaffaq ‘alaihi] [13]

Dan bukan dari perintah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, shalat satu rakaat saja dari shalat kusuf dengan satu ruku. Wallahu ‘alam

Shalat gerhana bulan dikerjakan sama seperti shalat gerhana matahari. Hal tersebut didasarkan pada sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

“Artinya : Sesungguhnya matahari dan bulan itu merupakan dua (tanda) dari tanda-tanda kekuasaan Allah. Keduanya tidak mengalami gerhana karena kematian seseorang dan tidak juga karena kehidupan seseorang. Oleh karena itu, jika kalian melihat hal tersebut maka hendaklah kalian berdo’a kepada Allah, bertakbir, shalat dan bersedekah”.[14]

Dapat saya katakan, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah pernah mengerjakan shalat gerhana matahari dan beliau menyuruh kita untuk melakukan hal yang sama ketika terjadi gerhana bulan. Dan hal itu sudah sangat jelas lagi gamblang. Wallahu ‘alam

Ibnu Mundzir mengatakan : “Shalat gerhana bulan dikerjakan sama seperti shalat gerhana matahari” [15]

[Disalin dari kitab Bughyatul Mutathawwi Fii Shalaatit Tathawwu, Edisi Indonesia Meneladani Shalat-Shalat Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Penulis Muhammad bin Umar bin Salim Bazmul, Penerbit Pustaka Imam Asy-Syafi’i]
_________
Rujukan:
[1]. Hadits shahih. Diriwayatkan oleh Al-Baihaqi di beberapa tempat, yang diantaranya di dalam Kitaabul Kusuuf, bab Ash-Shadaqah fil Kusuuf (hadits no. 1044). Dan redaksi di atas adalah miliknya. Dan juga Muslim di dalam Kitaabul Kusuuf, bab Shalaatul Kusuuf (hadits no. 901).
[2]. Lihat sekitar Dalalaatul Itqiraan, kapan waktu muncul, kapan muncul kelemahannya, dan kapan pula keduanya sama . Badaa’iul Fawaa’id (IV/183-184)
[3]. Fathul Baari (II/533) dan Masuu’atul Ijmaa (I/696)
[4]. Syarhul Umdah, karya Ibnu Daqiqil Ied (II/135-136). Dan juga kitab Fathul Baari (II/533).
[5]. Hadits shahih. Diriwayatkan oleh Al-Bukhari di beberapa tempat, yang diantaranya di dalam Kitaabul Kusuuf, bab An-Nidaa bish Shalaati Jaami’ah fil Kusuuf (hadits no. 1045). Dan lafazh di atas adalah miliknya. Dan juga diriwayatkan oleh Muslim di dalam Kitaabul Kusuuf, bab Dzikrun Nidaa bi Shalaatil Kusuuf : Ash-Shalaatu Jaami’ah, (hadits no. 910). Lihat Jaami’ul Ushuul (VI/178)
[6]. Hadits shahih. Diriwayatkan oleh Al-Bukhari di beberapa tempat, yang diantaranya di dalam Kitaabul Kusuuf, bab Shalaatil Kusuuf Jama’atan, (hadits no. 1052), dan lafazh di atas adalah miliknya. Dan juga diriwayatkan oleh Muslim di dalam Kitaabul Kusuuf, bab Maa ‘Aradha Alan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam fii Shalaatil Kusuuf min Amril Jannah wan Naar, (hadits no. 907). Dan lihat kitab. Jaami’ul Ushuul (VI/173).
[7]. Dan termasuk terjemahan Al-Bukhari di dalam (Kitaabul Kusuuf, bab Khuthbatul Imam fil Kusuuf), Aisyah dan Asma Radhiyallahu ‘anhuma berkata : “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berkhutbah…” Selanjutnya, dia menyitir hadits Aisyah di atas, Fathul Baari (II/533-534)
[8]. Hadits shahih. Diriwayatkan oleh Al-Bukhari di beberapa tempat, di antaranya di dalam Kitaabul Kusuuf, bab Al-Jahr bil Qiraa’ah fil Kusuuf, (hadits no. 1065) dan lafazh diatas adalah miliknya. Dan juga diriwayatkan oleh Muslim di dalam Kitaabul Kusuuf, bab Shalaatul Kusuuf, (hadits no. 901). Lihat Jaami’ul Ushuul (VI/156).
Takhrij hadits ini telah diberikan sebelumnya, tanpa memberi isyarat kepada riwayat ini.
[9]. Sunan At-Tirmidzi (II/448 –tahqiq Ahmad Syakir).
[10]. Lihat ungkapan Asy-Syafi’i dan dalilnya di dalam kitab Al-Umm (I/243). Juga pembahasan dalil-dalilnya serta penolakan terhadapnya di dalam kitab, Fathul Baari (II/550)
[11]. Dari terjemahan Al-Bukhari di dalam kitab Shahihnya, bab Shalaatul Kusuuf Jamaa’atan. Dan Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhu menjadi imam untuk shalat mereka di pelataran zam-zam. Ali bin Abdullah bin Abbas mengumpulkan (orang-orang). Dan Ibnu Umar Radhiyallahu ‘anhuma pun shalat …”. Kemudian dengan sanadnya dia menyitir hadits Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhuma terdahulu.
Pendapat yang mensyariatkan shalat kusuuf dengan berjama’ah adalah pendapat jumhur. Sekalipun imam tetap tidak hadir, maka sebagian mereka boleh menjadi imam atas sebagian lainnya. Lihat kitab Fathul Baari (II/539-540).
[12]. Dari terjemah Al-Bukhari di dalam kitab Shahihnya : Bab : Shalatul Kusuuf fil Masjid. Di dalamnya dsiebutkan hadits Aisyah Radhiyallahu ‘anha di atas dengan riwayat yang didalamnya terdapat ucapannya : “Kemudian pada suatu pagi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menaiki kendaraan, lalu terjadilah gerhana matahari. Kemudian beliau pulang kembali pada waktu Dhuha, maka beliau pun berjalan di antara rumah-rumah isteri beliau …. (hadits no. 1056).

Di dalam kitab Fathul Baari (II/544), dalam mengomentari hadits ini, Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan : “Tidak ada pernyataan jelas yang menyebutkan bahwa shalat kusuf ini dikerjakan di masjid, tetapi hal tersebut disimpulkan dari perkataan Aisyah : “Lalu beliau berjalan di dekat rumah-rumah para isteri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang memang menempel pada masjid. Dan shalat kusuf di masjid ini telah dinyatakan secara gamblang dalam sebuah riwayat Sulaiman bin Bilal, dari Yahya bin Sa’id, dari Umrah yang ada pada Muslim (saya katakan : “Hadits no. 903) Dan lafazhnya adalah sebagai berikut :” Kemudian aku keluar di antara para wanita di depan rumah isteri-isteri Nabi di masjid. Lalu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam datang dan turun dari binatang tunggangannya hingga akhirnya sampai ke tempat shalat yang beliau mengerjakan shalat di sana”.
Dapat saya katakan, dan yang lebih jelas dari itu adalah apa yang terdapat dalam hadits Aisyah terdahulu, yang ada pada Muslim, pada no. 901 Aisyah Radhiyallahu ‘anha berkata : “Pada masa hidup Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah terjadi gerhana matahari, lalu beliau pergi ke masjid, kemudian beliau berdiri dan bertakbir, dan orang-orang pun membuat barisan di belakang beliau..”
[13]. Hadits shahih. Diriwayatlkan oleh Al-Bukhari sebagai kata pembuka dengan lafazh ini di dalam Kitaabul Buyuu’ bab An-Najasy, Fathul Baari (IV/355). Dan diriwayatkan secara bersambungan di dalam Kitabush Shulh, bab Idzaa Ishtalahu ‘alaa Shulhi Juurin fa Shulhu Marduud, dengan lafazh : “Barangsiapa membuat suatu hal yang baru dalam perintah kami ini, yang bukan darinya, maka dia tertolak”. Dan diriwayatkan oleh Muslim di dalam Kitaabul Uqdhiyah, bab Naqdhul Ahkaam Al-Baathilah wa Raddu Muhdatsaatil Umuur, (hadits no. 1718). Dan lihat juga kitab, Jaami’ul Ushuul (I/289)
[14]. Takhrijnya sudah diberikan sebelumnya, dimana ia merupakan bagian dari hadits Aisyah mengenai shalat kusuf yang disebutkan di awal pembahasan
[15]. Al-Iqnaa, kartya Ibnul Mundzir (I/124-125)

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda