MUDZAKARAH ULAMA

ومن الناس والدّواب والانعم مختلفٌ الونه كذلك انما يخشى الله من عباده العلماء انّ الله عزيزٌ غفورٌ ـ

Rabu, 18 Maret 2009

GOLONGAN YANG SEDIKIT TAPI PEMENANG

وَابْتَغِ فِيمَا آتَاكَ اللَّهُ الدَّارَ الآخِرَةَ وَلا تَنْسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا وَأَحْسِنْ كَمَا أَحْسَنَ اللَّهُ إِلَيْكَ وَلا تَبْغِ الْفَسَادَ فِي الأرْضِ إِنَّ اللَّهَ لا يُحِبُّ الْمُفْسِدِينَ (٧٧)

Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan. (Qs. Al Qoshos : 77).

Sesungguhnya setiap manusia mendambakan kehidupan bahagia, aman dan sejahtera. Tak satupun yang menginginkan kesusahan, terancam, dan sengsara. Inilah insting naluriah dan kebutuhan mendasar manusia yang selalu ingin digapai dengan bermacam cara menurut konsep hidup yang tertanam dalam fikirannya. Munculnya insting tersebut dikarenakan dorongan potensi nafsu yang sengaja Allah adakan bagi tiap insan. Dengan adanya nafsu, maka manusia akan berupaya mempertahankan eksistensi (keberadaannya) di dunia, karena nafsu diciptakan untuk melayani kebutuhan pokok manusia selaku makhluq hidup.

Manusia membutuhkan pemuasan sandang, pangan, papan, pengetahuan, cinta kasih dan sayang, perhatian, berpasangan, pengakuan, dan sebagainya. Inilah contoh perilaku manusia yang didorong oleh intuisi nafsu. Maka manusia dibenarkan untuk saling mencari, memberi dan menerima semua itu. Namun ketika dalam mencarinya membulkan ketimpangan, kecurangan, kerugian atau menzalimi lain pihak, maka hal itu tidak dibenarkan menurut akal yang sehat. Untuk itulah perlu diterapkan semacam aturan main yang dapat menjaga hak-hak tiap makhluq termasuk manusia secara adil dan jujur.

Aturan hidup atau konsep hidup inilah yang dikenal secara umum sebagai agama. Bagi ummat muslim dikenal dengan Dien, Manhaj, Thoriqoh, atau Syariat. Sedangkan aturan itu sendiri dikenal dengan illah (aturan yang wajib ditha’ati). Sesungguhnya hanya ada dua macam konsep atau sistem aturan hidup di dunia ini. Pertama sistem yang berlandaskan nafsu dan kedua sistem berlandaskan wahyu. Karena manusia selain diberi Allah dengan potensi nafsu juga dibekali aqal tempat penerimaan hidayah.

Nafsu yang pada awal keberadaannya adalah bersifat tenang dalam memberikan sinyal dan dorongan untuk melayani hajat kehidupan manusia akan dapat berubah menjadi serakah, amarah, lawwamah, dan musawilah. Perubahan ini disebabkan nafsu tersebut telah dipengaruhi bisikan iblis. Dalam alqur-an dinyatakan tentang hal ini :

يَا أَيَّتُهَا النَّفْسُ الْمُطْمَئِنَّةُ (٢٧)ارْجِعِي إِلَى رَبِّكِ رَاضِيَةً مَرْضِيَّةً (٢٨)فَادْخُلِي فِي عِبَادِي (٢٩)وَادْخُلِي جَنَّتِي (٣٠)

”Hai nafsu/jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Rabbmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam jama'ah hamba-hamba-Ku, Masuklah ke dalam jannah-Ku. (Qs. Al Fajr :27-30).

لَعَنَهُ اللَّهُ وَقَالَ لأتَّخِذَنَّ مِنْ عِبَادِكَ نَصِيبًا مَفْرُوضًا (١١٨)

Yang dila'nati Allah (Iblis) dan ia mengatakan: "Saya benar-benar akan mengambil dari hamba-hamba Engkau bahagian yang sudah ditentukan (nafsu). (Qs.an Nisa : 118)

Hasutan iblis inilah yang disebut dengan “qalam syarr” (bisikan jahat) yang apabila diiikuti manusia dan jin akan menimbulkan sifat jahat yang disebut syaithon. Karena lafadz syaithon berasal dari kata sayaatin (yang jauh dari kebaikan). Dalam ayat lain dinyatakan :

قُلْ أَعُوذُ بِرَبِّ الْفَلَقِ (١)مِنْ شَرِّ مَا خَلَقَ (٢)

Katakanlah: "Aku berlindung kepada Robb yang menguasai al falaq (peredaran alam). Dari (qalam) kejahatan yang diciptakan-Nya, (Qs. Al falaq : 1-2)


مِنْ شَرِّ الْوَسْوَاسِ الْخَنَّاسِ (٤)الَّذِي يُوَسْوِسُ فِي صُدُورِ النَّاسِ (٥)

“Dari kejahatan (bisikan) syaitan yang biasa bersembunyi, yang membisikkan (kejahatan) ke dalam dada manusia. (Qs. An Naas : 4-5).

Dalam hadits qudsi dijelaskan bahwa :

قَلَ صلعم : إِنَّ الله تَبَارَكَ وَتَعَالَى قَبَضَ قَبْضَةً بِيَمِيْنِهِ فَقَالَ : هَذِهِ لِهَذِهِ وَلاَ أُبَالِى. وَ قَبَضَ قَبْضَةً أُخْرَى يَعْنِى بِيَدِهِ الأُخْرَى فَقَالَى : هَذِهِ لِهَذِهِ وَلاَ أُبَالِى . رواه احمد عن ابو نظار

Rosul bersabda :
“Sesungguhnya Allah yang Maha Berkat dan Maha Tinggi menggenggam satu genggaman di kananNya maka berfirman : ini untuk ini dan aku tidak peduli, dan menggenggam yang lain yaitu ditanganNya yang lain maka berfirman : ini untuk ini dan aku tidak peduli.”
(HR. Ahmad dari Abu Nazhor).

Dalam genggaman kanan maksudnya qalam wahyu dan dalam genggaman lainnya maksudnya qalam syarr, wallahu’alam.

وَهَدَيْنَاهُ النَّجْدَيْنِ (١٠)

“dan Kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan” (Qs.al Balad : 10)

Yang dimaksud dengan dua jalan ialah jalan kebajikan (ma’ruf) dan jalan kejahatan (munkar-qalam syarr). Sengaja Allah ciptakan Iblis yang membawa qalam syarr untuk menguji kualitas iman dan amal ibadah setiap manusia, agar manusia dibalasi di akhirat sesuai ‘amalnya ketika diberi kesempatan hidup di dunia yang singkat.

لِيَجْعَلَ مَا يُلْقِي الشَّيْطَانُ فِتْنَةً لِلَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ مَرَضٌ وَالْقَاسِيَةِ قُلُوبُهُمْ وَإِنَّ الظَّالِمِينَ لَفِي شِقَاقٍ بَعِيدٍ (٥٣)

“Agar Dia menjadikan apa yang dimasukkan oleh syaitan itu, sebagai cobaan bagi orang-orang yang di dalam hatinya ada penyakit dan yang kasar hatinya. dan Sesungguhnya orang-orang yang zalim itu, benar-benar dalam permusuhan yang sangat,” (Qs. Al Hajj : 53).

Berbeda dengan nafsu yang dapat menjadi intusi syaithoniyah, keberadaan aqal di dalam hati manusia adalah sebagai tempat tertanamnya “qalam wahyu”. Suara nafsu syaithoniyah dan suara aqal yang berlandaskan wahyu selamanya akan “bersaing” untuk menguasai fikiran manusia. Ketika fikiran diserahkan kepada nafsu maka kerusakan dan kezaliman yang muncul. Sebaliknya jika aqal sehat yang terdapat dalam hati nurani terdalam manusia yang senantiasa menyuarakan al haq yang diikuti niscaya akan membawa keberuntungan dan kebahagiaan sejati, serta keadilan.

بَلْ هُوَ آيَاتٌ بَيِّنَاتٌ فِي صُدُورِ الَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ وَمَا يَجْحَدُ بِآيَاتِنَا إِلا الظَّالِمُونَ (٤٩)

“Adapun sebenarnya, Al Quran itu adalah ayat-ayat yang nyata di dalam dada (hati) orang-orang yang diberi ilmu dan tidak ada yang mengingkari ayat-ayat Kami kecuali orang-orang yang zalim. (Qs. Al Ankabut : 49)


وَالَّذِينَ اجْتَنَبُوا الطَّاغُوتَ أَنْ يَعْبُدُوهَا وَأَنَابُوا إِلَى اللَّهِ لَهُمُ الْبُشْرَى فَبَشِّرْ عِبَادِي
الَّذِينَ يَسْتَمِعُونَ الْقَوْلَ فَيَتَّبِعُونَ أَحْسَنَهُ أُولَئِكَ الَّذِينَ هَدَاهُمُ اللَّهُ وَأُولَئِكَ هُمْ أُولُو الألْبَابِ

“dan orang-orang yang menjauhi Thaghut (yaitu) tidak menyembah- nya dan kembali kepada Allah, bagi mereka berita gembira; sebab itu sampaikanlah berita itu kepada hamba- hamba-Ku, yaitu orang-orang yang selalu mendengarkan Perkataan (Fatwa) lalu mengikuti apa yang paling baik (Al qur-an) di antaranya, mereka Itulah orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk dan mereka Itulah orang-orang yang mempunyai akal”. (Qs.Azzumar:17-18)

Thaghut ialah syaitan dan apa saja yang disembah selain Allah s.w.t. Maksudnya “ahsan” ialah mereka yang mendengarkan ajaran-ajaran Al Quran dan ajaran-ajaran yang lain, tetapi yang diikutinya ialah konsep ajaran-ajaran Al Quran karena ia adalah yang paling baik.


A. Konsep Hidup Berlandaskan Nafsu dan Pengikutnya


أَفَرَأَيْتَ مَنِ اتَّخَذَ إِلَهَهُ هَوَاهُ وَأَضَلَّهُ اللَّهُ عَلَى عِلْمٍ وَخَتَمَ عَلَى سَمْعِهِ وَقَلْبِهِ وَجَعَلَ عَلَى بَصَرِهِ غِشَاوَةً فَمَنْ يَهْدِيهِ مِنْ بَعْدِ اللَّهِ أَفَلا تَذَكَّرُونَ (٢٣)وَقَالُوا مَا هِيَ إِلا حَيَاتُنَا الدُّنْيَا نَمُوتُ وَنَحْيَا وَمَا يُهْلِكُنَا إِلا الدَّهْرُ وَمَا لَهُمْ بِذَلِكَ مِنْ عِلْمٍ إِنْ هُمْ إِلا يَظُنُّونَ (٢٤)


“Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai illah-nya dan Allah membiarkannya sesat berdasarkan ilmunya dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas penglihatannya? Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah (membiarkannya sesat). Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran? Dan mereka berkata: "Kehidupan ini tidak lain hanyalah kehidupan di dunia saja, kita mati dan kita hidup dan tidak ada yang akan membinasakan kita selain masa", dan mereka sekali-kali tidak mempunyai pengetahuan tentang itu, mereka tidak lain hanyalah menduga-duga saja.” (Qs. Al Jaatsiyah :23-24)

Banyak orang yang merasa berilmu namun justru mengingkari/mangkir dari konsep al Qur-an. Mereka hanya mengandalkan ro’yun (buah fikiran) yang dilandasi nafsu dan sudah merasa benar. Akibatnya mereka dibiarkan Allah sesat dengan ilmu mereka sendiri. Sedangkan kemampuan fikiran manusia hanya sebatas masalah-masalah lahiriyah / materi duniawiyah. Artinya segala sesuatu yang kasat mata di segala penjuru langit dan bumi dapat dianalisa secara eksakta oleh fikiran manusia. Namun masalah ghoib (antara lain : Zat Allah, malaikat, ruh, akhirat, rizqi, takdir, bala’ dan maut) mustahil dapat dianalisa fikiran manusia. Ruh yang terdapat dalam jasad manusia saja tidak dapat dianalisa manusia apalagi perkara ghaib lainnya. Allah menyatakan dalam Surah Ruum ayat 7 :

يَعْلَمُونَ ظَاهِرًا مِنَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَهُمْ عَنِ الآخِرَةِ هُمْ غَافِلُونَ (٧)

“mereka hanya mengetahui yang lahir (saja) dari kehidupan dunia; sedang mereka tentang (kehidupan) akhirat adalah lalai.”

Sekarang ini dapat disaksikan secara jelas bahwa sebagian besar manusia bahkan dari kalangan muslim yang mengambil aturan hidup selain dari Dienullah. Satu contoh kasus, mereka gandrung dengan sistem hidup miliknya orang kafir dari buah fikiran Socrates, plato, Machiavelli, Kent, Dente, dan penerusnya. Yaitu sistem politik berasaskan kebatilan “suara rakyat adalah suara tuhan”. Lalu dipadukanlah dengan aturan dari Allah sehingga muncul istilah “Politik Islam” dan “Demokrasi ‘ala Islam. Terbukti sampai saat ini tidak ada bukti keberhasilan sistem bathil tersebut dalam menjaga hak-hak manusia secara adil dan jujur.

Manusia mau tidak mau akan menemui hari akhirat yang kekal. Disinilah letak permasalahannya. Karena jika kita hanya hidup di dunia kemudian tidak akan dibangkitkan lagi maka bolehlah manusia hidup sekehendaknya dan menafikan agama (baca:dienul Islam) dan tidak perlu ada. Namun ternyata perbuatan kita di dunia yang sangat singkat ini bisa berakibat penyesalan yang sangat panjang atau juga kebahagiaan hakiki di akhirat kelak. Sungguh sangat merugi orang-orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai illah /ikutan/pegangan hidup serta mengada-ada dalam urusan Allah.

Nafsu yang telah berasosiasi dengan bisikan iblis inilah yang menyesatkan banyak manusia dari jalan Allah. Munculnya agama-agama dan aliran sesat adalah dari buah fikir atau hasil budidaya fikiran manusia yang telah dihasut iblis. Keberhasilan iblis ini antara lain karena banyak manusia tidak mewaspadai keberadaan iblis bahkan menganggap tidak ada serta kurang upaya untuk kembali ke tuntunan yang benar. Definisi Agama secara luqhowi berbeda dengan Dinul Islam yang merupakan hak mutlaq Allah yang tidak boleh dicampuri dengan buah fikiran manusia. Bahkan rosulullah pun dilarang menggunakan ro’yun dalam urusan Islam. Agama berasal dari dua suku kata dari bahasa sansekerta, A adalah tidak, gama/gomo adalah kocar-kacir. Jadi agama bermakna aturan dari manusia agar tidak hidup kucar-kacir.


أَلا لِلَّهِ الدِّينُ الْخَالِصُ وَالَّذِينَ اتَّخَذُوا مِنْ دُونِهِ أَوْلِيَاءَ مَا نَعْبُدُهُمْ إِلا لِيُقَرِّبُونَا إِلَى اللَّهِ زُلْفَى إِنَّ اللَّهَ يَحْكُمُ بَيْنَهُمْ فِي مَا هُمْ فِيهِ يَخْتَلِفُونَ إِنَّ اللَّهَ لا يَهْدِي مَنْ هُوَ كَاذِبٌ كَفَّارٌ (٣)

“Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah Addien yang bersih (dari syirik). dan orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah (berkata): "Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan Kami kepada Allah dengan sedekat- dekatnya". Sesungguhnya Allah akan memutuskan di antara mereka tentang apa yang mereka berselisih padanya. Sesungguhnya Allah tidak menunjuki orang-orang yang pendusta dan sangat ingkar. (Qs. Azzumar :3)

وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَى (٣)إِنْ هُوَ إِلا وَحْيٌ يُوحَى (٤)عَلَّمَهُ شَدِيدُ الْقُوَى (٥)ذُو مِرَّةٍ فَاسْتَوَى (٦)وَهُوَ بِالأفُقِ الأعْلَى (٧)

“dan Tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya). Yang diajarkan kepadanya oleh (Jibril) yang sangat kuat, yang mempunyai akal yang cerdas; dan (Jibril itu) Menampakkan diri dengan rupa yang asli, sedang dia berada di ufuk yang tinggi.” (Qs. An Najm :3-7).


B. Konsep Hidup berlandaskan al Qur-an

Tentu sama kita fahami bahwa bagi setiap muslim, al Qur-an adalah satu-satunya pilihan jalan lurus yang mampu menghantarkan manusia kepada tujuan hidup sebenarnya yaitu ridho Allah.

وَأَنَّ هَذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ وَلا تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ ذَلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ (١٥٣)


“dan bahwa (yang Kami perintahkan ini) adalah jalanKu yang lurus, Maka ikutilah Dia, dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai beraikan kamu dari jalanNya. yang demikian itu diperintahkan Allah agar kamu bertakwa.” (Qs. Al an’am : 153).

Jaminan Allah kepada setiap manusia bahwa dengan menerapkan konsep wahyu yang tertuang dalam al Qur-an dan dijelaskan RosulNya dalam haditsnya akan muncul keberkahan hidup di dunia, persatuan ummat, dan keselamatan dunia-akhirat. Dalam keberkahan terkandung makna kebahagiaan, keadilan, kejujuran dan keselamatan. Bahkan hanya dengan rujuk kepada al qur-an ini hamba-hambaNya dapat menyatu satu-sama lain. Tapi dengan meninggalkan atau mengambil sebagian saja dari ajaran al Qur-an lalu dicampuradukkan dengan ajaran dari fikiran manusia, justru muncul firqoh-firqoh dan mahzab-mahzab baru dalam Islam. Hal inilah yang perlu dicermati sungguh-sungguh oleh setiap muttabi’ rosul. Allah dan rosulNya mengingatkan akan hal ini. Ditambah lagi tidak ada satupun para Imam dan Ulama Salaf terdahulu didalam kitab mereka memerintahkan manusia untuk wajib bermahzab mengikuti mereka. Bahkan memerintahkan untuk rujuk kepada sumber ajaran mereka, yaitu al Qur-an dan assunnah.

وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلا تَفَرَّقُوا وَاذْكُرُوا نِعْمَةَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ إِذْ كُنْتُمْ أَعْدَاءً فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ فَأَصْبَحْتُمْ بِنِعْمَتِهِ إِخْوَانًا وَكُنْتُمْ عَلَى شَفَا حُفْرَةٍ مِنَ النَّارِ فَأَنْقَذَكُمْ مِنْهَا كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمْ آيَاتِهِ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ (١٠٣)

“dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali Allah (al Qur-an), dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, Maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk.” (Qs. Ali Imran : 103)

Hadits :

مَا لَمْ تَحْكَم أ َئِمَّتُهَمْ بِكِتَابِ اللهِ وَيَتَغَيَّرَوا مَا أَنْزَ لَ اللهُ اِلاَّ جَعَلَ اللهُ بَأ ْسُهَمْ بَيْنَهُمْ
رواه ابو داود و اين ماجه عن عبد الله بن عمر

“Barangsiapa yang tidak berhukum kepada ketetapan Kitabullah, dan mengada-adakan selain
yang diturunkan Allah, niscaya diantara mereka diadakan Allah permusuhan yang hebat
(HR.Abu Dawud, Ibnu Majah dari Abdullah bin Umar)

Menyikapi munculnya firqoh-firqoh dan mahzab maka al Qur-an mengajarkan kepada kita:

إِنَّ الَّذِينَ فَرَّقُوا دِينَهُمْ وَكَانُوا شِيَعًا لَسْتَ مِنْهُمْ فِي شَيْءٍ إِنَّمَا أَمْرُهُمْ إِلَى اللَّهِ ثُمَّ يُنَبِّئُهُمْ بِمَا كَانُوا يَفْعَلُونَ (١٥٩)

“Sesungguhnya orang-orang yang memecah belah agama-Nya dan mereka menjadi bergolongan, tidak ada sedikitpun tanggung jawabmu kepada mereka. Sesungguhnya urusan mereka hanyalah terserah kepada Allah, kemudian Allah akan memberitahukan kepada mereka apa yang telah mereka perbuat.” (Qs. Al An’am :159)

Firqoh disini maksudnya: ialah golongan yang amat fanatik kepada pemimpin-pemimpinnya. Namun demikian dikarenakan Dinul Islam adalah konsep aturan kehidupan yang bersifat bersih, final, syumul, lengkap serta mampu menjawab segala tantangan zaman, maka tidak dibenarkan seorang muslim menambahi atau menguranginya. Jika diibaratkan dengan sebuah bangunan rumah, maka Islam adalah rumah yang indah tiada bandingnya. Didalamnya terjamin keamanan dan kesejahteraan. Setiap sudut bangunan dan pekarangannya terpancar keagungan pemiliknya. Maka siapapun yang menyatakan taslim (tunduk) kepada Islam berarti ingin menjadi penghuni bangunan itu tentu ia harus menthaati aturan pemiliknya. Tidak dibenarkan seorangpun yang berlindung didalamnya mengubah bentuknya, mengotori, atau merusak bangunan itu. Bahkan kita diperintahkan untuk menjaga serta merawat keaslian dan keindahan bangunan tersebut.

C. Golongan yang Sedikit

فَلَوْلا كَانَ مِنَ الْقُرُونِ مِنْ قَبْلِكُمْ أُولُو بَقِيَّةٍ يَنْهَوْنَ عَنِ الْفَسَادِ فِي الأرْضِ إِلا قَلِيلا مِمَّنْ أَنْجَيْنَا مِنْهُمْ وَاتَّبَعَ الَّذِينَ ظَلَمُوا مَا أُتْرِفُوا فِيهِ وَكَانُوا مُجْرِمِينَ (١١٦)

“Maka mengapa tidak ada dari umat-umat yang sebelum kamu orang-orang yang mempunyai keutamaan yang melarang daripada (mengerjakan) kerusakan di muka bumi, kecuali sebahagian kecil di antara orang-orang yang telah Kami selamatkan di antara mereka, dan orang-orang yang zalim hanya mementingkan kenikmatan yang mewah yang ada pada mereka, dan mereka adalah orang-orang yang berdosa.” (Qs. Huud : 116)

Tidaklah aneh jika kebanyakan manusia enggan memulai mengadakan perbaikan bahkan hanya sedikit sekali, cuma beberapa gelintir hamba pilihanNya yang mau menerima perintah ini. Mereka inilah yang disebut dalam al Qur-an sebagai ‘Ulu Baqiyah (kelompok sisa). Seperti gambaran rosul beserta sahabat yang hanya berjumlah 313 orang yang mengikuti perang pertama kali membela Islam di Badar. Kemenangan justru bukan berada pada banyaknya pengikut, justru sedikit orang namun benar langkahnya insyaAllah akan dihantarkan kepada kemenangan serta dijadikan pemicu semangat bagi hamba Allah lainnya. Maka disinilah letak tanggung jawab muslim terutama para ulama dalam menjaga dan membela Islam. Allah pun memberi janji melalui hadits rosulNya bahwa setiap pangkal seratus tahun akan dibangkitkanNya Mujadid-Mujadid yang akan menjaga kemurnian Islam. Maukah kita dimasukkan Allah dalam golongan yang sedikit namun memiliki keutamaan derajat di sisiNya? Wallahu’alam bi showab.

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda